Salah satu tempat yang paling sibuk di Palu saat ini adalah bandar udara Mutiara SIS AL Jufri. SIS adalah singkatan Sayid Idrus bin Salim al Jufri . Nama akhirnya merujuk pada salah satu ulama masyhur di Sulawesi Tengah. Sebelumnya bandara kebanggaan Kota Palu ini bernama Bandara Mutiara yang diberikan oleh dari Presiden Soekarno. Saat berioperasikan 1954 namanya adalah Bandara Masovu. Pada 28 Februari 2014, Menteri Perhubungan kala itu, Evert Ernest Mangindaan merubah nama bandara Mutiara menjadi bandara Mutiara SIS Al Jufri.
Habib Idrus bin Salim Al Jufri, bagi masyarakat Palu, dikenal sebagai tokoh pendidikan, pendakwah dan pendiri Al Khairat. Guru Tua masyarakat Sulawesi Tengah menyebutnya. Pria kelahiran Taris Hadramaut, Yaman ini menjadi salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam perkembangan Islam. masa kecilnya dihabiskan dengan menuntut ilmu pada ayahnya Habib Salim yang juga seorang qadhi (hakim) dan mufti di Kota Taris, Hadramaut. Kemudian melanjutkan pendidikannya dengan berguru kepada ulama masyhur di Yaman seperti Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Habib Abdurrahman bin Alwi bin Umar Assegaf, Habib Muhammad bin Ibrahim bilfaqih, Habib Abdullah bin Husein bin Sholeh Al-Bahar, Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi. Pada guru- guru inila Habib Idrus mendalami berbagai Ilmu seperti tafsir, hadits, tasawuf, fiqih, tauhid,mantiq, nahwu, sharaf, falaq, tarikh dan sastra.
Pada tahun 1327 H atau tahun 1909 bersama ayahnya, berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Di sana menetap selama enam bulan. Kemudian berlayar ke Indonesia tepatnya di kota Manado untuk menemui ibunya Nur Al-Jufri serta Habib Alwi dan Habib Syekh yang merupakan kedua saudara kandungnya yang lebih dulu berhijrah di Indonesia. Setelah beberapa waktu berada di Indonesia, Habib Idrus dan ayahnya kembali ke Hadramaut.
Di Hadramaut menjadi pengajar di madrasah yang dipimpin oleh ayahnya. Pada bulan Syawal 1334 H bertepatan dengan 1906 M ayahnya wafat. Dan pada tahun yang sama diangkat oleh Sultan Mansur sebagai Mufti dan Qadhi di kota Taris, Hadramaut sat usianya menginjak 25 Tahun. Sejak Pada tahun 1839 Inggris menjajah Hadramaut. Kondisi ini membuat Habib Idrus bersama seorang sahabatnya, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah bermaksud untuk mempublikasikan kekejaman dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Inggris ke Mesir.
Setelah sesuatunya dipersiapkan dengan matang dan rapi, keduanya berangkat melalui Pelabuhan Aden. Namun di Pelabuhan Laut Merah Inggris mengetahui rencana mereka. Keduanya ditangkap. mereka berdua dipenjara tapi kemudian mereka dibebaskan dengan syarat tidak diperbolehkan bepergian ke negeri Arab manapun. Setelah kejadian itu Habib Abdurrahman memilih tinggal di Hadramaut, sedangkan Habib Idrus memilih hijrah ke Indonesia.
Pada tahun 1925 Habib Idrus kembali ke Indonesia. Kota Pekalongan, Jawa Tengah menjadi tempat tinggalnya. Di kota bbatik ini pula menikah dengan Syarifah Aminah Al-Jufri dan dikaruniai dua anak perempuan. Tahun 1926 M beliau pindah ke kota Jombang, disana beliau mengajar dan berdagang. Di Jombang kemudian bertemu dan menjadi karib pendiri Nahdlatul Aulama KH Hasyim Asy’ari.
Namun di penghujung tahun 1928 pindah ke kota Solo. Pada 27 Desember 1928 bersama beberapa Habaib beliau mendirikan Madrasah Rabithah Alawiyah. Namun, pada akhir tahun 1929 M meninggalkan kota Solo dan pindah ke Sulawesi. Ketika singgah di Donggala, Habib Idrus menggunakan kesempatan itu untuk berkonsolidasi dengan komunitas Arab yang dipimpin Syekh Nasar bin Khams Al-Amri. Disinilah asal mula rencana mendirikan Al Khairat. Hasil pertemuan tersebut segera menyebar di komunitas masyarakat Arab yang ada di Kota Palu khusunya mengenai pendirian Madrasah. Pada akhirnya disepakati bersama bahwa sarana pendidikan berupa gedung akan disiapkan oleh masyarakat Arab Palu, sedangkan gaji guru, Habib Idrus yang akan mengusahakannya. Pada awal 1930 M Habib Idrus menuju kota Palu. Tepat 30 Juni 1930 M setelah mengurus izin selesai resmilah Madrasah Al-Khairaat di Kota Palu.
Pada masa pendudukan Jepang perguruan Al-Khairat ditutp. Meski begitu proses pendidikan terus berlangsung dengan sembunyi-sembunyi. Lokasi pembelajarandialihkan ke desa Bayoge, yang jaraknya satu setengah kilometer dari lokasi perguruan Al-Khairaat. Setelah Perguruan Al-Khairat dibuka kembali secara resmi. Selama kurun waktu 26 tahun (1930-1956) Perguruan Al Khairat yang berhasil menjangkau seluruh kawasan Indonesia Timur. Tahun 1964 didirikanlah Universitas Islam Al-Khairaat dengan tiga fakultas yaitu: Fakultas Sastra, Fakultas Tarbiyah, dan Fakultas Syariah. Tetapi meletusnya G30S PKI pada tahun 1965 perguruan tinggi Al-Khairaat dinonaktifkan untuk sementara. Tahun 1969 perguruan Tinggi Al-Khairat dibuka kembali.
Habib Idrus tidak meninggalkan karangan kitab. Al-Khairaat dan murid-muridnya adalah karya besarnya. Ulama pendidik ini wafat 22 Desember 1969. Ketika wafat, Habib Idrus telah mewariskan 25 cabang Alkhairaat dan ratusan sekolah, serta beberapa madrasah yang dirikannya.