Pasca gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004 yang menewaskan ribuan orang, pemerintah Indonesia dan komponen yang terkait sebenarnya sudah belajar bagaimana mengantisipasi dan melakukan proses mitigasi. Hal ini terlihat dengan dua hal. Pertama, adanya proses legislasi, pelembagaan, dan penganggaran (budgeting) dengan badan tersendiri dengan berdirinya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. Selain adanya proses kaderisasi, pelatihan, sekaligus kordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, pendirian BNPB kemudian memberikan konsekuensi selanjutnya, yaitu adanya pemutakhiran teknologi untuk mengantisipasi kemunculan Bencana tersebut, salah satunya pemasangan buoy di sejumlah perairan lepas Indonesia. Dengan begini ketika bencana gempa terjadi yang memungkinkan terjadinya tsunami, Indonesia bisa memprediksi dengan persiapan melalui teknologi tersebut.
Namun, di tengah munculnya sejumlah gempa di pelbagai daerah di Indonesia di Indonesia yang terjadi lebih bersifat reaktif ketimbang antisipatif. Akibatnya, jatuhnya korban dengan jumlah yang tidak sedikit terus bertambah. Padahal, setiap titik bencana di daerah merupakan proses perulangan dari puluhan tahun sebelumnya, di mana daerah-daerah tersebut merupakan jalur patahan lempengan Bumi yang mengalami pergerakan yang satu waktu akan terus terjadi. Antisipasi, dengan demikian, sangat mungkin untuk dilakukan. Dalam konteks Palu, misalnya, sebagaimana diungkapkan oleh Rusydi H dan Rahmawati R.E dalam artikel jurnal yang berjudul Vulnerability Zoning of Earthquake Disaster of Palu, dimuat di International Journal Of Science and Applied Science pada tahun 2017, merupakan salah satu kota yang mengalami gempa bumi, yang disebabkan karena adanya lempengan aktif yang melewati wilayah tersebut, dikenal dengan Palu-Koro. Data ini mereka dapatkan merujuk kepada informasi tahun 1927 di mana Gempa di Palu telah 9 kali dan mengakibatkan korban kurang lebih dari 250 orang.
Namun, data ini sekedar menjadi dokumen yang dibuka ketika justru gempa terjadi. Akibatnya, kita memiliki ingatan yang pendek dan selalu mengalami kekagetan setiap bencana gempa dan tsunami terjadi. Di sisi lain, harus diakui, persoalan birokratisasi dengan adanya pembatasan anggaran yang didapatkan oleh BNPB terus menurun. Padahal, kerja-kerja pemetaan bencana dan proses mitigasi membutuhkan dana yang tidak sedikit. Akibatnya, persoalan pendanaan tersebut berdampak terhadap pengabaian 22 buoy yang dilepas di perairan nusantara sejak tsunami Aceh. Buoy ini sejenis pelampung yang berfungsi menjadi alat pendeteksi gelombang pasang dan tsunami. Data yang dihasilkan dari pendeteksian ini kemudian akan dikirimkan BMKG. Namun, alih-alih berfungsi, semua alat pendeteksi tersebut rusak dan hilang, baik karena dicuri, tertarik jangkar kapal dan diambil nelayan (www.cnnindonesia.com, 30 September 2018). Akibatnya, tsunami yang terjadi di kota Palu ini menjadi tidak terhindarkan.
Memang, kita memiliki ikatan komunal yang kuat smembuat solidaritas sangat memungkinkan terjadi. Hal ini memungkinkan cepatnya proses pemulihan pasca gempa melalui bantuan baik sosial, ekonomi, maupun pembangunan infrastruktur. Apalagi, pengalaman sejumlah bencana memungkinkan Indonesia untuk lebih cakap melakukan proses pemulihan. Namun, ketidaksiapan untuk melakukan mitigasi bencana justru akan memakan jumlah korban yang tidak sedikit sekaligus dana rekonstruksi dan rehabilitasi yang tidak murah. Di sini, proses pemetaan kebencanaan yang menjadi pegangan kepada setiap pemerintah yang menjabat, baik di level pusat maupun di daerah sangat penting untuk dilakukan untuk memungkinkan meminimalisir jumlah korban yang mungkin ditimbulkan.
Jepang merupakan contoh perbandingan yang tepat, di mana negara itu mempersiapkan dengan baik atas sejumlah bencana yang muncul dan akan terjadi. Dengan mempraktikan manajemen krisis dan resiko, belajar dari kasus Gempa Bumi Besar Kanto 1923, Jepang tidak hanya mempersiapkan proses mitigasi melalui arsitektur gedungnya, melainkan juga membangun mentalitas warganya untuk siap dan tanggap terhadap bencana. Proses ini memungkinkan jumlah korban menjadi lebih sedikit (Downer, 2011).
Selain Jepang, proses mitigasi bencana yang bisa diambil pelajaran adalah negara Chile. Sama seperti Jepang dan Indonesia, salah satu negara Amerika Latin tersebut merupakan wilayah yang dilewati lempengan besar patahan (Ring of Fire) bumi. Gempa, karena itu, menjadi bagian aktivitas yang tak terhindarkan dari negara tersebut. Namun, Chile adalah negara yang cepat belajar dan beradaptasi dengan gempa, khususnya gempa besar pada 22 Mei 1960 dengan kekuatan 9.5 magnitued dan membunuh 1, 655 orang serta mengakibatkan 2 juta orang kehilangan rumahnya. Bertolak dari sini, negara tersebut beradaptasi dengan gempa dengan melakukan proses mitigasi. Selain merancang bangunan tinggi yang tahan gempa, proses mitigasi yang dilakukan adalah, salah satunya, melakukan simulasi gempa di hampir semua daerah di Chile, yang dilakukan 6-7 kali selama setahun. Dalam simulasi, masyarakat tidak hanya berlatih bagaimana bertindak saat gempa terjadi melainkan juga ke arah mana mereka harus melakukan proses evakuasi diri (Franklin, 2015).
Hasilnya, saat kota Coquimbo terkena gempa dengan kekuatan 8.4 skala richter dan mengakibatkan tsunami setinggi 4.5 meter pada 16 September 2015, jumlah korban yang meninggal hanya 13 orang (Fraklin, 2015). Sementara itu, gempa yang terjadi di Haiti dengan kekuatan di bawahnya pada 12 Januari 2010, 7.0 skala richter mengakibatkan jumlah korban lebih dari 300 ribu orang (Encylopedia Britannica, 2010). Di Nepal, melalui gempa susulan yang terjadi pada 26 April 2015 dengan kekuatan 6.5 skala richter telah mengakibatkan 9 ribu orang meninggal dan 22 ribu mengalami luka-luka (Encylopedia Britannica, 2015). Di sini, kekuatan besaran magnitude gempa akan berdampak terhadap jumlahnya korban. Meskipun demikian, mitigasi melalui antisipasi bencana dengan persiapan matang bisa menimalisir jumlah korban yang banyak.
Dengan demikian, belajar mitigasi bencana dari dua negara ini dengan memperkuat semacam cetak biru secara nasional mengenai potensi bencana di sejumlah daerah di Indonesia sekaligus melakukan proses simulasi kepada daerah-daerah yang berpotensi bencana merupakan keharusan. Jika tidak dilakukan, percayalah bahwasanya akan banyak orang-orang yang menjadi korban sia-sia. Ironisnya itu bukan karena sekedar menjadi korban karena kekuatan alam, karena kita dari awal sudah mengetahuinya. Lebih dari itu, hal itu terjadi karena ketidakmauan dan keengganan kita untuk belajar dan beradaptasi dengan bencana. Bahkan, yang menyedihkan, ada saja yang melakukan proses politisasi bencana yang dikaitkan dengan politik elektoral.