Geger-gegeran perihal RUU-HIP membawa kita pada satu kesadaran bahwa memiliki suatu ideologi pengikat yang menjadi simpul dalam berbangsa dan bernegara memang mutlak diperlukan, dan Pancasila adalah buah dan anugerah dari kesadaran itu.
Sebagai ideologi negara, setiap warga Indonesia memiliki hak untuk menerjemahkan Pancasila serta menjadikannya sebagai cara pandang dan cara bersikap dalam bingkai berbangsa dan bernegara. Maka, janganlah heran dan kaget jika banyak dari ragam lapisan anak bangsa ini bergerak dan menjadi benteng utama dalam membela Pancasila ketika status kesaktiannya terusik. Di antara anak bangsa yang sejak awal terbukti istiqamah dalam mengawal kesaktian Pancasila adalah mereka kaum muslim tradisional, seperti para pengikut tarekat dan warga NU.
Tarekat, dengan guru mursyid-nya, sangat diyakini oleh para peneliti memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk pola kepatuhan yang kuat, terutama kepada para muridnya. Tarekat memang diperuntukkan sebagai media dan jalan (suluk) yang dijalani oleh para salik (pelaku spiritual) menuju pencapaian spiritual tertinggi (ma’rifat) serta pensucian diri atau jiwa (tazkiyat nafs) dengan bimbingan Guru Mursyid.
Namun, dalam perkembangannya secara sosiologis, tarekat telah menjadi sebuah gerakan sosial-keagamaan yang memiliki ikatan yang kuat antara guru dan murid. Kuatnya relasi dan ikatan ini didasarkan pada prinsip ketaatan dan kepatuhan mutlak oleh seorang murid kepada guru mursyid. Potensi kepatuhan yang luar biasa inilah yang menjadi modal social bagi tarekat dalam memainkan peran social-politiknya di masyarakat serta dalam upaya internalisasi nilai-nilai kebangsaan dalam nalar para murid.
Catatan sejarah bangsa ini memberi bukti bahwa tarekat dan guru mursyid memiliki andil besar dalam gerakan sosial-politik bangsa ini sejak masa pra kemerdekaan hingga saat ini. Lihatlah peristiwa perlawanan Petani Cilegon Banten pada 1988 yang digerakkan oleh guru-guru tarekat, yaitu Kyai Abdul Karim dan Kyai Warsyid serta gerakan perlawanan terhadap Belanda oleh Syekh Maulana Yusuf Makassari.
Pernyataan K.H. Achmad Siddiq (Rais Am PBNU 1984-1989) bahwa Pancasila adalah ideologi paling tepat dan sudah final bagi bangsa Indonesia dan tidak bisa diutak-atik lagi keberadaannya merupakan pernyataan yang jelas dan berani serta berbagai pernyataan dari Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya yang juga Rois ‘Am JATMAN (Jam’iyah Ahlut Thoriqah al-Mu’tabarah An-Nahdliyah) menjadi gambaran yang jelas bahwa kaum tarekat terlibat aktif dalam mengawal bangsa ini. Terlebih kaum sarungan juga menjadi salah satu anggota BPUPKI yang bertugas merumuskan dasar negara ini yaitu hadirnya K.H. Abdul Wahid Hasyim.
Hal yang sama juga dilakukan oleh K.H. Abu Nur Jazuli dari Bumiayu Brebes Jawa Tengah. Ia adalah guru mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) yang memiliki jalur dari K.H. Muslih Abdurrahman Mranggen Demak Jawa Tengah. Ia juga pendiri JAMSU (Jama’ah Ahli Mujahadah Shalawat Ummi) yang memiliki ribuan jamaah dari wilyaha Brebes dan sekitarnya. Tafsir K.H. Abu Nur Jazuli tentang Pancasila terekam apik dalam salah satu karyanya yang berjudul Tafsir Fatihah.
Karya tafsir yang resmi dipublikasikan pada 27 Ramadan 1406 H. / 5 Juni 1986 oleh Pesantren an-Nuriyah Bumiayu Brebes ini merupakan penjelasan tentang isi dan kandungan makna Surat al-Fatihah. Uniknya pada bagian akhir tafsirnya, K.H. Abu Nur Jazuli juga mencantumkan penjelasan terkait Pancasila. Beliau menyatakan bahwa “menerima Pancasila itu dasarnya adalah al-Ijma’ dan Qiyas” dan selain itu “bahwa sila-sila yang ada dalam Pancasila itu kesemuanya tidak bertentangan dengan ayat-ayat Qur’an dan al-Hadits” (hlm. 121).
Menafsirkan Pancasila dengan berpijak pada ayat al-Qur’an dan Hadis, sebagaimana yang dilakukan oleh Kyai Abu Nur ini membuktikan bahwa relasi agama dan negara adalah relasi harmoni dan bukan untuk dipertentangkan apalagi saling menundukkan. Kaum tarekat, seperti halnya warga NU, sangat sadar betul bahwa keharmonisan dalam beragama sekaligus bernegara adalah bagian dari wujud syukur kita kepada Tuhan YME.
Gus Mus dalam berbagai kesempatan sering dawuh bahwa dalil bagi kaum tradisionalis dalam mencintai bangsa ini sangatlah sederhana, bagi kami (kaum tradisionalis) mencintai tanah air ini adalah wujud syukur kami atas anugerah Tuhan YME, karena di sini kita dilahirkan, di sini kita dapat bersujud kepadaNya, dan di sini pula kita akan dikebumikan kembali.
Maka dari itu, menafsir Pancasila dengan horizon normatifitas melalui dalil-dalil agama adalah wujud rasa syukur itu sendiri. Bagi kita, argumen yang sangat sederhana dan mudah dicerna ini cukup menjadi modal bagi kaum sarungan dalam mematahkan argumen sebagian kalangan yang dari dulu sampai sekarang masih bercokol, menolak ideologi Pancasila dan mengajukan khilafah, paham komunis, liberalisme dan lainnya sebagai penggantinya. Dan karena ini pula, menjaga kesaktian Pancasila adalah bagian dari keimanan. Wa Allah A’lam bi al-Shawab.