Ada dua cerita yang saya hadapi dalam persoalan “guru” agama di dunia digital. Pertama, saat kegelisahan seorang ustadzah saat menjumpai teman sejawatnya “ngebet” kawin muda, setelah menonton beberapa video ceramah di laman Youtube. Kedua, seorang teman yang memakai cadar juga sejak aktif menyaksikan video di laman yang sama.
Pencarian dan konsumsi konten agama di laman Youtube bukan barang baru dalam perbincangan di khazanah keilmuan Islam sekarang. Selain kasus di atas, ada artis yang akhirnya memutuskan untuk “hijrah” juga setelah mempelajari beberapa ceramah di laman berbagi video tersebut. Satu guyonan pernah terucap pada saya yang melihat dengan heran bahwa fakta pengetahuan agama yang sekarang beredar massif di ranah internet “lah, kamu telat. Sekarang ada penceramah yang cuma baca informasi agama lewat Whatsapp”
Candaan tersebut masih relevan kepada siapa saja yang baru menyadari bahwa pengetahuan keislaman bisa didapat dengan sangat mudah dan cepat. Google adalah senjata utama para pencari ilmu keislaman, hingga terkenal diksi guyonan “Kyai Google”. Apakah ini tanda kematian institusi pengetahuan keislaman yang bertahan selama ini?
Belajar Agama via Digital, Benarkah Kita Hanya Belajar?
Lanskap kehidupan manusia sekarang tidak lagi bisa terhindari dengan irisan dunia digital, termasuk internet. Beriringan dengan kondisi tersebut, renjana terhadap ilmu keagamaan terus meningkat mengikuti kemajuan kehidupan modern. Kondisi ini akhirnya menuntut volume konten agama di internet harus terus ditingkatkan produksinya, karena permintaan dari warganet yang semakin subur.
Kiwari, perjumpaan antara ilmu agama dan internet tidak hanya soal cara mendedahkan belaka tapi juga berkelindan dengan soal teknik persebaran, kemasan pesan, tata bahasa yang digunakan, hingga tampilan penceramah turut berpengaruh. Jadi, sekarang “guru agama” lebih dari sekedar penyampai pesan atau ilmu keagamaan saja. Tapi, juga turut menjadi “influencer” dan “buzzer” pesan agama yang terus dikemas dan disesuaikan dengan selera warganet yang mengambang dan bisa berubah kapan saja.
Agama tidak lagi dipeluk sebagai bagian spiritualitas manusia, tapi di saat yang sama ia juga ditampilkan ke ruang publik sebagai identitas. “saya menjadi muslim” di generasi M, sebagai kelompok generasi paling dominan di ranah digital, tidak lagi sekedar memeluk agama juga di saat yang sama juga diekspresikan lewat pakaian, travelling, olahraga, hingga makanan.
Revolusi pengetahuan keagamaan, khususnya Islam, sedang terjadi dengan sangat massif. Dua kasus dan kasus artis di atas adalah contoh bagaimana internet telah banyak merubah pola interaksi keilmuan dari kalangan muslim. Ditarik benang merah dari persoalan tersebut, guru agama yang muncul tidak hanya tampil dalam personal pribadi, tapi juga bisa juga muncul lewat konten yang ada di internet.
Belajar agama di internet dengan guru yang tampil lewat visual atau konten tulisan di grup-grup WA hingga berbagai laman, memang tidak lagi tabu di warganet muslim. Informasi yang tersedia berlimpah dianggap sebagai kemudahan, baik melompati berbagai persyaratan hingga kualifikasi dalam penyerapan sebuah ilmu. Jenjang pendidikan formal tidak lagi menjadi penghalang untuk mengonsumsi ilmu agama, yang selama ini sebagai filter kepantasan terakhir kepada siapa saja yang ingin belajar ilmu yang lebih tinggi.
Ilmu keislaman di dunia digital tidak hanya bersifat setara tapi juga cair yang bisa dikonsumsi dengan bebas siapapun. Tapi di saat yang bersamaan, peran guru agama semakin terdistorsi karena hanya sebagai medium belaka, tanpa memiliki peran otoritas yang kuat. Sehingga, ilmu agama lebih terjebak sebagai konten informasi belaka.
Saat guru agama hanya dipandang sebagai konten informasi belaka, maka ilmu agama tidak hanya hadir memenuhi kekosongan pengetahuan, tapi juga ditampilkan sebagai eksistensi di media sosial. Seperti yang sering terlihat di linimasa berbagai meme dan video bernada agama di beberapa platform jejaring sosial. Selain itu, berbagai video potongan ceramah atau siaran langsung dari ceramah, baik sepotong atau penuh juga turut berseliweran di media sosial.
Akhirnya, belajar lewat “guru” agama di dunia digital tidak hanya dimaknai sebagai proses belajar belaka seperti kasus di atas, namun banyak perubahan dari lanskap pendidikan agama yang lama. Dari perubahan model pembelajaran menjadi lebih cair dan sejajar, fungsi guru yang hanya menjadi egaliter, hingga video ceramah tidak hanya sumber informasi tapi juga memiliki sisi penanda eksistensi di media sosial.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin