Bnyak yang mengatakan bahwa demonstrasi itu ekspresi. Tidak penting tahu tuntutannya apa tidak. Bukankah ’98 juga demikian?
Pernyataan seperti di atas selalu saya tolak. Mengapa? Tahun 98 Soeharto memang tumbang. Kebebasan pers dibuka. Demokrasi menjadi lebih baik. Dalam perjalanannya, Gus Dur bahkan membatalkan banyak peraturan diskriminatif, salah satunya soal pelarangan kebudayaan Tionghoa.
Tetapi, era Habibie dan Gus Dur yang membuka keran demokrasi itu hanya beberapa tahun. Oligarki bangkit melihat begitu rapuhnya gerakan ideologis. Ketidaksiapan reformasi justru membuat lingkaran sejarah yang berulang. Hari ini banyak di antara pembuat kebijakan adalah aktor demonstrasi ’98. Mereka didemo karena dianggap mengorupsi reformasi. Lalu?
Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah diskusi kecil, ketidaksiapan reformasi 98-lah yang kemudian membuat aksi tersebut dijadikan sebatas romantisme masa lalu. “Dulu saya juga demonstran”. “Dulu saya juga nganu”. Dan lain-lain. Orang-orang lupa dengan tuntutannya. Bahkan banyak yang mengaku aktivis ’98 yang kini mem-buzzer mendukung gerakan pengekangan terhadap kebebasan berekspresi. Kenapa? Karena mereka sejak awal memang tidak tahu tuntutannya. Yang penting lengsar lengser. Yang penting difoto kelihatan banyak.
Buih! Itu buih namanya!
Kritik itu banyak disampaikan orang-orang ketika melihat aksi 212 Desember 2017 lalu. Buih! Buih! Begitu katanya. Tetapi giliran melihat aksi September ini, banyak yang memuji-muji. Ini penting. Wow, banyak sekali massa-nya! Wuiiih keereeen anak STM saja ikut! Gila! Anak SD terlibat aksi! Lama-lama kok orang-orang ini jadi seperti kesurupan ‘Fierza’ semua. Nambah diksi ‘take beer’ di akhir kalimat sudah sama persis.
Saya jadi ingat tweet Ryu Hasan, salah seorang ahli saraf. Ia mengatakan tidak percaya dengan aksi massa. Kenapa? Ia merujuk pada pelengseran terbuka seorang diktator Nicolae Ceaușescu di hadapan puluhan ribu rakyat Rumania. Rakyat atau massa kebagian panas mataharinya. Mentok merasa senang dan bangga. Yang kebagian panas duit dan jabatannya ya orang-orang di sekitar Ceaușescu, yang mungkin dulu sepet sama si tua yang tidak mundur-mundur juga. Kini, rakyat Rumania merasakan susah. Mungkin mereka butuh pertolongan HT untuk menyuarakan khilafah sebagai solusinya.
Masalahnya, orang-orang ideologis ini tidak mau masuk ke sistem. Mau mengawasi dari jauh, katanya. Ketika DPR-nya gak becus, isinya marah-marah. “Gak kompeten!”. “Gak ngerti undang-undang!”. Giliran ada beberapa mahasiswa yang terlihat kritis, langsung dilambung-lambungkan. Sampai ada yang mengglorifikasi: Andai presidennya Fathur, dan wakilnya Royyan, maka permasalahan bangsa ini akan selesai. “Mereka itu orang cerdas!” katanya. Sementara di Twitter ada salah seorang netizen yang diberi nama Fahri Hamzah karena dulu bapaknya ikut aksi 98 dan melihat bagaimana ia kagum dengan sosok muda nan berani itu. Kini, siapa yang bangga disamakan dengan Fahri Hamzah?
Ya, Fahri Hamzah, Adrian Napitupulu, Masinton dll itu aktor reformasi. Di tengah banyaknya kontroversi, saya sendiri mengapresiasi para politisi ini. Mereka bergerak dengan ide dan alasan. Bukan buih. Meski ide dan alasan mereka banyak yang bertentangan. Tetapi kita butuh orang-orang ideologis di dewan dan pemerintahan.
Saya melihat sosok seperti Fathur dan Royyan ini seperti pemain bola muda baru yang lagi moncer. Mereka dieluk-elukkan. Sebagian bisa berhasil. Sebagai contoh ada Kylian Mbappe yang membantu Prancis juara dunia. Tetapi ada juga yang terbuai. Federico Macheda, James Wilson, Danny Welbeck, dan banyak lainnya meredup dan terbuang.
Saat menonton ILC baru-baru ini, saya mulai berhati-hati menempatkan harapan pada pemuda-pemuda ini. Sudah jadi desas-desus umum jika di anatara pemuda tersebut menolak RUU PKS, salah satu RUU yang paling saya dukung karena sudah saya pelajari. Semetara saya tidak berani bersuara terhadap RKUHP karena memang belum baca. “Kan ada meme?” Ini yang jadi kritik buya Heru Prasetia. Dia menyayangkan generasi saat ini dibesarkan oleh meme. Jadi hanya tau informasi luarnya, dan sepotong-sepotong.
Sebagai warga biasa, oke, itu penting. Sebagai aktivis, masak meme cukup digunakan sebagai landasan bersuara? Bagaimana pun saya menaruh hormat pada banyak profesor, termasuk Profesor Eddie dan Profesor Tuti, yang turut merancang RKUHP itu.
Di satu sesi, salah seorang dari mereka ceroboh ketika berkomentar soal penundaan RKUHP. “Yang kami minta itu bukan penundaan, tapi pembatalan. Bisa saja sekarang ditunda, tetapi dua hari kemudian disahkan!”
Karni Ilyas sampai menjelaskan, ada statement presiden yang mengatakan ditunda sampai DPR periode selanjutnya. Si pemuda masih berargumen perkataan presiden multitafsir. Padahal secara lengkap Jokowi sudah menyatakan tidak akan dibahas di periode DPR saat ini.
Kedua, ketika di Narasi TV, di hadapan Moeldoko dan Najwa Shihab, salah seorang ketua BEM mengatakan terbuka dengan undangan presiden. Tetapi ketika undangan itu disampaikan, mereka malah menolak. Bagi saya pribadi, ini mencoreng prinsip konsitensi dan integritas. Semestinya tidak perlu disampaikan jika tidak mau menepati. Apalagi yang mengundang Kepala Negara. Lha wong sampeyan kalau janjian ketemuan sama dosen kemudian melipir saja dosennya marah, apalagi orang nomor satu di Indonesia?
Sudahlah. Berhenti mengglorifikasi. Nanti kalau kepeleset paling kamu tinggalin. Anak-anak muda ini butuh proses. Butuh kematangan. Bukan sekedar panggung televisi yang fana. Apalagi pujian yang membabi buta.
Ingat. Ini era disrupsi. Seringkali kita terjebak mengidolakan sosok. Seringkali kita terjebak membenci sosok. Semoga kita berada di barisan orang-orang yang merdeka dan sehat sejak dalam pikiran.