Beberapa minggu ini, kita berkali-kali dihadapkan dengan anak muda. Dari peristiwa politik kita yang diwarnai kehadiran sosok Gibran sebagai salah satu bacawapres (bakal calon wakil Presiden RI), peringatan Sumpah Pemuda di tanggal 28 Oktober 2023 lalu, hingga sosok pemain muda Real Madrid yang mencetak brace (dua gol) di laga El Classico, bernama Jude Bellingham.
Ketiga fenomena di atas terjadi hampir bersamaan, namun jika kita telisik maka ada hal yang kita bisa pelajari dari semuanya. Apa itu?
Isi Sumpah Pemuda yang telah ditulis dan disepakati sekitar 95 tahun lalu tersebut sangat mungkin kita semua menghapalnya. Tiga unsur penting yang disepakati di Sumpah Pemuda telah menjadi titik awal identitas kita menjadi Indonesia, sebagai bangsa, memiliki tanah air yang sama, hingga bahasa yang sama.
Sumpah Pemuda yang digagas oleh anak-anak muda progresif. Oleh sebab itu, titik tolak Sumpah Pemuda adalah cita-cita yang mengharapkan persatuan di tengah beragam identitas yang tersebar di wilayah Nusantara. Jadi, anak muda saat itu telah melihat Indonesia sebagai kesatuan, yang tidak menghilangkan keragaman tersebut.
Cita-cita dari Sumpah Pemuda ini sebenarnya relate dengan perbincangan di ranah politik akhir-akhir ini, yakni rekonsiliasi. Salah satu tokoh dari koalisi yang menyokong sosok Gibran sebagai pendamping Prabowo Subianto sebagai calon wakil presiden, Fahri Hamzah, menyebarkan narasi bahwa walikota Solo tersebut menjadi representasi rekonsiliasi. Kenapa?
Menurut Fahri Hamzah, perpecahan atau polarisasi politik yang telah terjadi di beberapa proses Pilpres dan Pemilu kita telah diakhiri dengan proses bergabungnya Prabowo ke kabinet Presiden Jokowi. Namun, kita tentu harus menelisik lebih dalam apakah sosok Gibran benar-benar bisa representasi rekonsiliasi politik.
Saya sebenarnya sangat meragukan klaim Fahri tersebut. Terlebih jika kita telisik fakta di lapangan, polarisasi yang populer dengan sebutan cebong-kampret masih saja terjadi hingga hari ini.
Tidak cukup hanya di situ, sosok Gibran juga dihubungkan tokoh sejarah Indonesia, bernama Sultan Sjahrir. Sejarawan, JJ Rizal, menolak keras narasi tersebut. Dia menyebutnya sebagai cucokologi. Bagi Rizal, sosok Sjahrir telah melewati peristiwa sejarah yang cukup keras, mulai dipenjara, dibuang, hingga terlibat dalam proses perlawanan atas kolonialisme.
Bagi saya, anak muda dan pencalonan Gibran murni sebuah kalkulasi politik elektoral. Walaupun, mungkin saja, kehadiran Gibran menghadirkan beragam terobosan dalam taktik, narasi yang disokong, hingga model kampanye yang dipakai. Namun, kita sebagai pemilih tentu harus menguji beragam kampanye tersebut, tidak hanya dari Gibran.
Jumlah anak muda yang berpotensi mengikuti proses politik di tahun 2024 nanti lebih dari 50% seluruh jumlah pemilih. Jadi proses politik di tahun 2024 nanti, anak muda Indonesia akan dituntut untuk menguji apakah beragam kampanye yang akan dirancang menyasar anak muda tersebut tidak hanya gimmick belaka atau benar-benar memperjuangkan anak muda untuk bisa lebih berperan aktif mengisi kemerdekaan Indonesia.
Kehadiran sosok Gibran kemarin adalah salah satu awal ujian anak muda Indonesia. Kampanye Gibran di saat deklarasinya berisi narasi terkait anak muda, diantaranya pendanaan khusus Start-up. Selain Gibran, kita juga melihat bagaimana narasi anak-anak muda telah diselipkan di visi-misi Capres-Cawapres kala mendaftar di KPU kemarin. Pastinya, fenomena Gibran telah menjadi penanda pengarusutamaan anak muda dalam kampanye politik nanti.
Saya sendiri sebenarnya menyoroti anak muda dan politik kesalehan dalam arus utama proses politik ini. Kenapa?
Fakta bahwa anak muda Muslim, khususnya di perkotaan, telah menjadi bagian dari mengubah atau paling tidak menegosiasikan beragam hal dalam agama Islam tidak dapat dibantah. Anak-anak muda hari ini telah menjadi salah satu aktor utama dalam beragam perjumpaan agama dengan media baru, termasuk narasi kesalehan.
Oleh sebab itu, politik dan kesalehan pribadi telah menjadi warna tersendiri di proses politik kita. Dibantu oleh kemajuan teknologi media, para politisi kita semakin saleh dengan mengunggah beragam konten terkait kesalehan pribadi mereka, sebagaimana sebagian besar masyarakat Muslim hari ini.
Namun kita sering terlena kala politisi kita menggunakan kesalehan sebagai modal politik mereka, maka rentan sekali mereka mengeksploitasi beragam narasi agama untuk merayu konsituen agar memilih mereka. Dalam proses tersebut, agama bisa saja dipakai untuk menyingkirkan lawan-lawan politik yang tidak memiliki model keberagamaan yang sama, apalagi berbeda agama.
Kedekatan dengan ulama tertentu, keahlian dalam ritual keagamaan, hingga pemakaian atribut-atribut keagamaan bisa jadi sudah menjadi pemandangan biasa dalam proses politik nanti. Hal ini bisa jadi menggeser perbincangan atau narasi politik kita ke arah politik identitas primordial, ketimbang membicarakan beragam kepentingan esensial kita, seperti pangan, sandang, sekolah, dan lain-lain.
Politik kita tidak boleh lagi berpusar pada narasi “gimmick” yang menumpang narasi esensi, seperti anak muda. Anak muda kita harus mendorong politik kita mendiskusikan beragam kepentingan mereka, seperti lapangan pekerjaan, sekolah yang bagus, keamanan dari beragam kekerasan di lingkungan kampus dan sekolah, hingga tuntutan kesehatan reproduksi.
Anak muda harus mengamalkan apa yang disebut oleh Pramoedya Ananta Toer, “Melawan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya” dalam politik gimmick untuk narasi anak muda. Jadi, anak muda harus mengedepankan dan terus mengasah kecerdasan politiknya untuk bisa berperan mewujudkan kebaikan bersama.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin