Istilah ghosting sempat ramai diperbincangkan. Bahkan, jika kita lihat Google Trend, istilah ini menjadi kata kunci nomor satu yang paling banyak dicari sepanjang tahun 2020. Istilah ghosting sendiri – diambil dari kata ghost (hantu dalam bahasa Inggris) adalah keadaan ketika seseorang yang tengah menjalin hubungan tiba-tiba menghilang seperti hantu.
Hubungan yang dimaksud adalah hubungan sepasang kekasih dengan harapan dapat berlanjut ke jenjang pernikahan. Hubungan ini populer disebut pacaran. Dalam Islam, dikenal juga dengan istilah taaruf, jenjang lebih jauh dikenal dengan lamaran/khitbah.
Menghilang Padahal Sudah Lamaran
Mungkin, jika hubungan tadi masih sebatas taaruf alias pendekatan atau sebatas pacaran – tentu dengan batas-batas sesuai syariat, ghosting, menghilang saat sayang-sayangnya dapat ditolerir. Namun, bagaimana jika pasangan kita menghilang begitu saja padahal hubungan dengannya telah sampai pada jenjang yang lebih jauh seperti lamaran? Lalu, bagaimana pendapat Ulama tentang hal ini?
Sebelum melangkah ke penjelasan pendapat ulama tentang orang yang menghilang pas lagi sayang-sayangnya padahal sudah khitbah, baiknya kita ulas terlebih dahulu secara singkat apa itu khitbah?
Pengertian Khitbah atau Lamaran
Muhammad bin Qasim dalam karyanya Fathul Qarib menjelaskan bahwa khitbah adalah pinangan laki-laki kepada perempuan untuk menikah. Menariknya, Muhammad bin Qasim memberi contoh variasi kata-kata pinangan yang dapat diutarakan laki-laki kepada perempuan.
Di antaranya ungkapan terang-terangan seperti, “Aku ingin menikahimu, dek.” ungkapan halus (ta’ridl), “Banyak lelaki yang menginginkanmu, dek.” Atau, “Sepertinya dunia lebih indah jika bersamamu, dek.” Terakhir, “Bersamamu surga lebih dekat, dek.”
Dua ungkapan terakhir karangannya penulis bukan kutipan dari Muhammad bin Qasim. Jadi, kesimpulannya khitbah adalah pinangan laki-laki kepada perempuan untuk menikah.
Ghosting Setelah Lamaran Menurut Hadis
Bagaimana jika salah seorang dari sepasang kekasih yang telah melaksanakan khitbah menghilang tanpa jejak? Jawabannya, tentu hal ini sangat dicela dalam Islam.
Bagaimanapun prosesi lamaran adalah sebuah janji seorang pria kepada perempuan untuk menikahinya, begitu pun sebaliknya. Selayaknya janji, maka terlarag untuk diingkari. Terkait ingkar janji Nabi pernah bersabda :
…. فَمَنْ أَخْفَرَ مُسْلِمًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ لَا يُقْبَلُ مِنْهُ صَرْفٌ وَلَا عَدْلٌ….
”….Seseorang yang melepas ikatan perjanjian dengan seorang muslim maka orang itu akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat dan seluruh manusia dan tidak akan diterima darinya amalan ibadah wajib dan sunnahnya…….” (Bukhari 1870)
Hal ini sejalan dengan pendapat Muhammad Syaltut dalam al-Fatawa bahwa ingkar janji setelah khitbah adalah sesuatu yang Allah haramkan. (lihat al-Fatawa hlm. 225)
Firman Allah :
…..وَاَوْفُوْا بِالْعَهْدِۖ اِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْـُٔوْلًا
“…dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Isra [17] : 34)
Membatalkan Lamaran dengan Cara yang Baik
Lalu, bagaimana jika seseorang hendak membatalkan lamarannya karena ada suatu alasan tertentu dan ingin membatalkan dengan cara baik?
Wahbah Zuhayli, dalam al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu berpendapat selama akad nikah belum terlaksana, maka kedua pihak masih dapat membatalkan lamarannya. Selain itu, tidak ditemukan pendapat ulama sebelumnya yang melarangan pembatalan khitbah dengan cara yang baik.
Terkait hadiah saat lamaran, Zuhayli berpendapat pihak laki-laki dapat meminta agar hadiah yang ia beri dikembalikan bagaimana pun kondisi hadiah tersebut, baik masih bagus ataupun sudah rusak. Pihak pria juga diperbolehkan untuk memintanya kembali. (lihat al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu juz 7 hlm.26-27).
Menurut hemat penulis, terkait pembatalan lamaran, bisa dikomunikasikan dengan baik antara kedua pihak, sesuai dengan etika sesuai konteks tempat dan zamannya. Wallahu a’lam. (AN)