Di Banjarmasin, saat saya masih kecil, peringatan Isra Mi’raj selalu diperingati dengan membaca kitab Hasyiah Dardir. Kitab ini cuma setebal 31 halaman dan berbahasa arab. Penceramah yang berlaku sebagai pembaca kitab sesekali menceritakan bagian penting dalam ‘perjalanan agung’ yang dilalui oleh seorang Nabi yang Mulia.
Cerita yang dibaca dalam kitab tersebut diawali dengan saat Nabi Muhammad dibersihkan hatinya melalui ‘operasi’ yang dilakukan oleh malaikat. Sebab di saat kita mau menghadap Tuhan, maka kita diharuskan membersihkan hati kita dari penyakit-penyakit hati, seperti sombong, riya, dan lain-lain. Para penceramah itu sering mengatakan, kalau hati kita bersih maka doa kita akan mudah diijabah oleh Allah, sebab hati yang bersih itu membuat kita satu frekuensi dengan Allah.
Banyak lagi cerita yang disajikan dalam kitab tersebut, yang kebanyakan didasarkan pada keterangan-keterangan sahabat. Namun yang selalu diingatkan dalam cerita Isra Mi’raj ini adalah perintah shalat dan perjalanan Nabi Muhammad ini cuma dilakukan kurang dari semalam.
Kisah-kisah dalam Isra Mi’raj ini kebanyakan dari berdasarkan pada keterangan sahabat Nabi yang diambil dari hadits Rasul. Inilah yang kemudian dimasukkan ke dalam kitab Dardir. Banyak dari kisah-kisah tersebut harus dipahami dengan baik sebab banyak melukiskan kejadiannya dengan analogi yang kadang cukup rumit. Oleh sebab itu, biasanya penceramah harus menjelaskan maksud kisah tersebut.
Kalau dihitung secara fisik, perjalanan antara mekkah ke palestina sekitar 1500 km akan ditempuh 40 hari kalau jalan kaki. Namun ini adalah perjalanan agung yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ditemani oleh malaikat Jibril ini selain ke Palestina juga melanjutkan perjalanan hingga ke Sidhratil Muntaha, lalu kembali ke Mekkah lagi. Perjalanan ini kurang dari semalam. Ini keajaiban dari perjalanan ini.
Tentu saja Kebesaran Tuhan pun berlaku dalam kejadian tersebut. Namun, jika kita melihat kejadian tersebut melalui kacamata filsafat maka kita akan memahami ada perbedaan waktu yang selama ini kita pahami.
Bagi Immanuel Kant, waktu itu selalu terkait dengan ruang. Keterangan ini kemudian dipertegas oleh Albert Einstein dengan teori ruang-waktunya.
Filsuf abad pertengahan, Agustinus, melihat waktu itu ada dua yaitu waktu subjektif dan waktu objektif. Waktu objektif adalah waktu yang terpampang di kalender, jam tangan atau layar hape. Inilah waktu yang selama ini kita pakai sebagai acuan dan ukuran. Padahal ada waktu subjektif yang kita rasakan dalam batin kita. Waktu ini sangat berbeda dengan waktu objektif.
Mungkin kita sering mengatakan bahwa “menunggu adalah hal yang membosankan” atau membaca kata-kata Pablo Neruda “Mencintai begitu singkat, namun melupakannya begitu panjang”. Dua kalimat ini mungkin bisa membuat kita sadar bahwa ada waktu yang berbeda dengan waktu yang tertera di kalender dan jam itu. Dalam rentang waktu yang sama, waktu bisa menimbulkan perasaan yang berbeda.
Pemahaman waktu bisa berbeda karena kita masih terjebak dalam pemahaman: gerak itu masalah dengan ruang. Begitupula waktu yang kita pahami, karena kita masih memahami bahwa gerak waktu itu sesuatu yang bergerak lurus.
Padahal, kita hidup di antara 3 waktu yang berbeda yang saling berkaitan. Yaitu Masa lalu, masa kini dan masa depan.
Bila kita sudah melewati sebuah masa, maka akan disebut masa lalu dan tidak bisa dikembalikan lagi, padahal kita bisa merasakan apa yang terjadi di masa lalu. Martin Heidegger, seorang filsuf asal Jerman, menjelaskan manusia itu hidup dalam tiga waktu tersebut.
Adakah hubungan penalaran soal waktu ini dengan perjalanan Isra Mi’raj tersebut?
Sebenarnya, jawabannya sangatlah mudah. Pemahaman yang diberikan kepada manusia ini masih bisa dijelaskan adanya perbedaan waktu yang selama ini kita rasakan, sehingga mudahlah bagi Tuhan untuk memperjalankan seorang hambanya ke suatu tempat yang jauh. Dia adalah penguasa ruang dan waktu.
Kisah dalam kitab Dardir adalah salah satu instrumen untuk menjelaskan sebuah perjalanan nan agung tersebut bukan cuma perjalanan, tapi juga pengalaman dari Rasulullah. Pengalaman satu malam itu menghasilkan banyak kisah dan bisa kita ambil pelajaran daripadanya. Fatahallahu alaihi futuh al-arifin