Gelar Artis yang Viral: Saat Kita Lebih Senang Mengejar Gelar dari pada Belajar

Gelar Artis yang Viral: Saat Kita Lebih Senang Mengejar Gelar dari pada Belajar

Gelar akademik, baik itu sarjana, master, doktor, atau gelar kehormatan, sering kali dianggap sebagai lambang kesuksesan.

Gelar Artis yang Viral: Saat Kita Lebih Senang Mengejar Gelar dari pada Belajar

Seorang teman bercerita, ia baru saja mendapatkan kiriman pesan singkat dari orang yang tak dikenal sebagai salah satu peserta yang lolos tes CPNS. Teman saya itu setengah kaget. Saya kemudian mengingatkan bahwa itu jelas penipuan, karena bagaimana bisa, tidak daftar tapi ujug-ujug jadi salah satu peserta yang lolos?

Cerita teman saya yang lolos tes CPNS tanpa daftar itu agak mirip dengan kejadian yang tengah viral dalam beberapa hari terakhir. Media sosial dihebohkan oleh berita seorang artis yang dianugerahi gelar honoris causa dari sebuah universitas yang ternyata tidak terakreditas, atau bahkan tak ditemukan gedungnya.

Kejadian ini sekaligus mengundang tanya dan refleksi: mengapa masyarakat kita cenderung mengagungkan gelar akademik, bahkan dari lembaga yang tidak jelas, tetapi enggan untuk terlibat dalam proses belajar yang sesungguhnya? Ini mencerminkan fenomena yang lebih luas di mana gelar menjadi tujuan utama, sementara ilmu—sebagai substansi dari gelar itu sendiri—sering kali dilupakan.

Gelar dan Kredensial

Gelar akademik, baik itu sarjana, master, doktor, atau gelar kehormatan, sering kali dianggap sebagai lambang kesuksesan. Dalam konteks sosial, seseorang yang memiliki gelar cenderung dianggap lebih terhormat dan layak dihargai. Sayangnya, obsesi terhadap gelar ini sering kali tidak sebanding dengan keinginan untuk benar-benar menimba ilmu dan belajar. Banyak orang lebih memilih cara cepat, misalnya membeli gelar atau mengejar pengakuan kehormatan dari lembaga yang kredibilitasnya diragukan.

Randall Collins (2019) dalam “The Credential Society: An Historical Sociology of Education and Stratification” menyebutkan bahwa memang masyarakat modern lebih terfokus pada ‘credentialism’, yaitu kecenderungan untuk mengukur kapasitas seseorang berdasarkan gelar atau sertifikat yang dimilikinya, daripada keahlian atau pengetahuan yang dimiliki secara nyata. Fenomena ini terjadi secara global, tidak terkecuali di Indonesia, bahkan terjadi juga di Amerika, sebagaimana penelitian Collins. Masyarakat sering lebih menghargai seseorang yang memiliki gelar akademik meskipun tidak memahami bidang yang ditekuninya secara mendalam.

Sejarah Islam: Diganjar Gelar karena Karya, bukan Kaya

Saya masih ingat dengan salah satu bagian dalam kitab Tadrib al-Rawi yang dikarang oleh Imam an-Nawawi. Saat membahas “Hadis Maqlub” ulama yang wafat tahun 911 H ini mengutip kisah Imam al-Bukhari yang berhadapan dengan ulama untuk menguji hadis-hadis yang dia dapatkan. Ulama yang menguji penulis Sahih ini membalik-balikkan kalimat dalam hadis dan sanad. Imam al-Bukhari diminta untuk mengoreksi hadis yang terbalik-balik itu. Dari ujian terbuka tersebut, Al-Bukhari kemudian diganjar gelar Amirul Mukminin fil Hadis.

Selain al-Bukhari, Imam al-Ghazali juga mendapatkan gelar “Hujjatul Islam”-nya karena banyaknya karyanya. Ada sekitar 72 kitab hasil tulisan al-Ghazali, dari mulai Akidah, Ushul Fiqih, Tasawwuf, hingga Filsafat. Salah satunya Ihya Ulumuddin. Karya-karya tersebut dianggap sebagai tameng untuk melindungi pemahaman-pemahaman muslim, sehingga ia pun sah dan layak mendapatkanya.

Beberapa ulama zaman dahulu bisa dibilang sebagai orang yang pas-pasan dan dari keluarga pas-pasan. Alih-alih membeli gelar, untuk beli kertas saat itu saja, mereka terkadang harus menggadaikan beberapa barang penting.

Karena Serba Instan, Malas Belajar Jadi Alasan

Salah satu alasan mengapa banyak orang malas belajar adalah budaya instan yang linier dengan perkembangan teknologi saat ini. Di masa ketika segala sesuatu bisa diakses dengan cepat melalui teknologi, keinginan untuk mendapatkan pengakuan akademik secara instan tanpa melalui proses belajar yang panjang dan melelahkan menjadi semakin besar. Perubahan teknologi dan pendidikan membuat banyak orang mencari jalan pintas dalam menuntut ilmu, yang akhirnya merusak nilai proses pembelajaran itu sendiri. Teknologi seharusnya ditempatkan sebagai penujang, bukan untuk akal-akalan (cheating).

Selain itu, sistem pendidikan yang cenderung menekankan pada hasil akhir seperti nilai dan gelar, dari pada proses pembelajaran, turut berkontribusi melanggengkan fenomena ini. Beberapa orang lebih fokus pada cara cepat mendapatkan sertifikat atau ijazah daripada benar-benar menguasai materi yang dipelajari.

Fenomena mengejar gelar tanpa belajar juga bisa dikaitkan dengan rendahnya budaya baca dan belajar di masyarakat. Berdasarkan data UNESCO, minat baca di Indonesia tergolong rendah, dengan hanya 0,001 persen penduduk yang secara aktif membaca . Rendahnya minat baca ini mencerminkan minimnya dorongan untuk memperdalam pengetahuan.

Gelar Bukan Ukuran Kapasitas

Gelar akademik memang penting, tetapi tidak seharusnya dijadikan satu-satunya ukuran kecerdasan atau kapasitas seseorang. Dalam buku “The Case Against Education: Why the Education System Is a Waste of Time and Money” oleh Bryan Caplan (2018), disebutkan bahwa sistem pendidikan saat ini cenderung overvaluing gelar sebagai satu-satunya indikator keberhasilan, padahal dalam banyak kasus, seseorang yang tidak memiliki gelar tinggi sekalipun bisa memiliki pengetahuan dan kemampuan yang jauh lebih mendalam dibanding mereka yang memegang banyak gelar.

Fenomena artis yang mendapatkan gelar honoris causa dari universitas yang ‘tidak jelas’ seharusnya menjadi pengingat bahwa gelar tanpa proses belajar yang benar hanya akan menjadi hiasan kosong. Ini juga mengajarkan bahwa mengejar gelar demi pengakuan sosial tanpa disertai dengan niat menuntut ilmu adalah bentuk kesia-siaan.

Kembali ke ‘Khittah’: Pengetahuan

Penting bagi kita sebagai masyarakat untuk kembali pada esensi menuntut ilmu, yaitu memperkaya diri dengan pengetahuan yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Menuntut ilmu harus dilandasi dengan niat yang ikhlas dan tujuan yang benar. Paulo Freire (1970) mengingatkan kita bahwa pendidikan seharusnya menjadi alat untuk membebaskan diri dari kebodohan, bukan sekadar alat untuk mendapatkan status sosial. Dalam konteks Islam, pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang membawa kita lebih dekat kepada Allah dan menjadikan kita pribadi yang lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar, bukan sekadar mengejar gelar.

Menuntut ilmu adalah proses yang tidak pernah selesai. Dalam dunia yang terus berkembang, pengetahuan terus berubah dan diperbarui. Masyarakat yang maju adalah masyarakat yang menghargai proses belajar dan terus memperkaya dirinya dengan ilmu yang bermanfaat. Sebaliknya, masyarakat yang hanya mengejar gelar tanpa ilmu akan tertinggal dan kehilangan arah.

(AN)