Ada 600 madrasah ditutup di India Timur, tepatnya di negara bagian Assam. Madrasah itu akan dijadikan sekolah reguler akibat disahkannya udang-undang baru. Tentu hal ini menuai kecaman dari berbagai pihak. UU tersebut dinilai inskosntitusinal
“Pemerintah secara bertahap membuat Muslim di negara bagian tidak berdaya dengan mengganggu cara hidup kami,” kata Isfaqul Hussain, seorang aktivis yang berbasis di Tezpur, Assam, seperti dikuti dari laman arabnews.com.
Husein menambahkan pemerintah yang berkuasa ingin mengambil keuntungan menjelang pemilu.
Namun hal itu ditanggapi dingin oleh Menteri Pendidikan Assam, Himanta Biswa Sarma. Ia mengatakan bahwa langkah tersebut bertujuan membawa komunitas Muslim “maju” dan membela undang-undang baru tersebut.
“Setelah 10 tahun, anak-anak Muslim yang menjadi dokter dan insinyur dari sekolah-sekolah ini, akan berhutang budi kepada pemerintah kita,” ujarnya.
Sementara itu Mohammad Fakaruddin Ahmad, seorang mengajar di Sekolah Menengah Noorpur Jut, sebuah madrasah di distrik Sonitpur mengecam keras undang-undang baru itu.
“Madrasah kami, seperti sekolah lain, mengajarkan sains dan matematika serta mata pelajaran lain dan juga menghasilkan dokter dan insinyur. Madrasah mengikuti kurikulum pendidikan dari pemerintah negara bagian dan kami mengajarkan pendidikan sekuler kepada siswa kami, selain memiliki kursus bahasa Arab dan studi Islam,” katanya.
Sedang menurut Hiren Gohain, seorang intelektual publik terkemuka dari Assam merasa sahnya Undang-Undang tersebut kuat nuansa politiknya. “Motif politik adalah yang terpenting dalam pikiran mereka,” katanya. Di samping itu menurut Gohain ada kekhawatirannya akan mulai perubahan nama madrasah dengan nama Islam.
Menurutnya ini adalah bagian dari pola untuk melemahkan minoritas Muslim di Assam dan memaksa mereka untuk tunduk pada konstruksi politik partai yang berkuasa.
Anowar Hussain, seorang pengacara di ibu kota negara bagian Guwahati, menggambarkan undang-undang tersebut tidak konstitusional. “Konstitusi memberikan hak kepada masyarakat minoritas untuk mengelola lembaga pendidikannya. Ini RUU inkonstitusional, ”katanya.
Ia menyebut bahwa nuansa politis kentara sekali dalam pengesahan UU tersebut.