Mulla Sadra menggambarkan bahwa kedatangan kita ke dunia – ke “bumi manusia” kalau pakai ungkapan Pram – adalah perjalanan turun ke bawah, ke tingkat realitas yang lebih rendah. Bahasa Inggris mempunyai konsep ringkas mengenai gagasan ini dalam kata “descending.”
Dalam ungkapan itu, manusia-bumi sebenarnya adalah makhluk yang bermutasi dari realitas yang lebih tinggi ke realitas berikutnya yang lebih rendah. Menurut Teologi Sadrian, realitas digambarkan memiliki multiplisitas dan berhirarki, masing-masing dengan ontologinya yang berbeda.
[Ini berbeda dengan gambaran ilmu fisika yang melihat manusia berasal dari ketiadaan menuju keberadaan. Keberadaan manusia dalam pengertian astrofisika dilukiskan sebagai “debu galaktik” yang terseret ke bumi, lalu melalui proses evolusioner muncul menjadi “accident-being,” makhluk-kebetulan. Eksistensi materialitasnya mendahului esensi immaterialitasnya, jika esensi seperti itu pun dianggap ada. Dalam ontologi fisika, manusia hanyalah realitas material].
Dalam realitas dunia material, manusia mengalami evolusi dan transformasi. Tapi pada Sadra, gagasan evolusi dan transformasi rohaniah lebih ditekankan. Proses evolutif dan transformatif jiwa itulah yang justru menentukan kualitas eksistensial manusia. Hikmah al-Muta’aliyah (filsafat transendental) yang menjadi tema sentral pemikiran Sadra berpusat pada gagasan bahwa transformasi rohaniah manusia sebenarnya merupakan proses perjalanan kembali, untuk naik ke tingkat realitas baru yang lebih tinggi, pasca kematian. Tahap ini disebut perjalanan “ascending,” untuk mencapai realitas pasca-materialis.
[Jika ketika perjalanan turun dulu manusia mengalami fase pra-kehidupan, untuk menuju ke realitas kehidupan dunia, maka ketika kali ini menempuh perjalanan naik kembali, ia sebenarnya sedang menuju fase pasca-kematian.
Di sini term Heidegger mengenai hakikat kehidupan manusia sebagai “being toward death” menjadi kehilangan makna, karena sesungguhnya manusia adalah “being beyond death.”]
Jika ketika perjalanan turun, manusia memiliki eksistensi yang sederajat, maka ketika menempuh perjalanan naik mencapai transendensi, eksistensi manusia punya berbagai derajat yang berbeda-beda tergantung capaian transformatifnya secara spiritual.
Demikianlah, transendensi memang proyek manusia pasca imanensinya dalam realitas (sejarah) dunia. ‘Transendence is a metahistorical post-human project.’ Transendensi merupakan hasrat esensial menyangkut gagasan mengenai imortalitas manusia.