Setelah ditetapkan KPU sebagai pemenang Pilpres 2014 lalu, Jokowi memilih dan mengambil pidato pertamanya di Kapal Pinishi di Pelabuhan Sunda Kelapa. Jelas sekali pesan yang ingin disampaikan: ia ingin mengembalikan Negara Indonesia sebagai poros Negara maritim. Satu hal yang pernah ia sampaikan di debat Capres.
Dalam pidato pertama setelah dilantik, Presiden Jokowi kembali menegaskan visi kemaritimannya:
“Kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, memunggungi selat dan teluk.”
Indonesia bukanlah negara kontinental, melainkan negara kelautan. Meski pulau-pulau terlihat terpisah oleh laut, laut sebetulnya menyatukan. Jalesveva Jayamahe (di laut kita jaya) adalah ungkapan nenek moyang kita sebagai penguasa lautan.
Menurut sejahrawan Denys Lombard, bangsa “kunlun”, penghuni Nusantara seribu tahun sebelum masehi adalah para penakluk laut, penjelajah samudera. Bahkan, menurutnya, nama-nama yang disematkan pada pulau-pulau besar, seperti Jawa, Sumatera, kalimantan (borneo), adalah nama-nama yang diberikan para pelaut (Denys Lombard 2005).
Kejayaan sebagai penguasa lautan mulai surut dan mundur pasca runtuhnya imperium Majapahit, ditandai jatuhnya Malaka (1511), simbol supremasi ekonomi Nusantara, oleh pelaut-pelaut Eropa (Portugis). Sejak itu, laut sebagai lalu lintas perdagangan internasional dikuasai bangsa-bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, Inggri, dan Belanda).
Sebagai pelanjut Majapahit, Demak melalui Pati Unus mencoba bangkit dan merebut kembali Malaka dari tangan Portugis. Sayang, usaha itu gagal. Pengganti Pati Unus, Trenggono, malah tak meneruskan jejak pendahulunya. Ia tak lagi membangun armada besar. Orientasi kekuasaannya beralih ke darat.
Sejak saat itu, kata Pramoedya Ananta Toer dalam novel sejarahnya “Arus Balik”, arus peradaban tak lagi mengalir dari selatan ke utara, melainkan sebaliknya.
“Dahulu, di zaman Kerajaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit adalah kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini. Kapal-kapalnya, manusianya, amal dan perbuatannya, cita-citanya — itulah arus selatan ke utara (Pram, Arus Balik, 2002)”
Puncak kegagalan mengembalikan poros kekuatan maritim terjadi ketika Sultan Agung, penguasa Mataram Islam waktu itu, gagal mengusir Belanda dari Batavia. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam “Membaca Sejarah Nusantara” mengatakan, “kecenderungan besar Sultan Agung untuk menumpukkan kekuasaan pada sektor agraris, membuat ia buta akan pentingnya kekuatan maritim untuk menyerbu kota tersebut dari laut.”
Visi agraris Sultaan Agung tercermin dari pernyataannya, “aku adalah seorang raja sekaligus tentara, bukan pedagang seperti raja-raja Jawa lainnya”.
Tak seperti pendahulu-pendahulunya, orientasi kekuasaan Sultan Agung beralih ke darat, bukan laut. Kekuasaanya mulai terdesak ke pedalaman dengan membangun perekonomian berbasis pertanian.
Setelah indonesia merdeka, visi Negara Agraris Mataram diteruskan hingga zaman Orba yang lebih mementingkan Angkatan Darat ketimbang Angkataan Laut. Visi kemaritiman baru muncul kembali di era Gus Dur dengan membentuk kementerian keluatan dan membuat poros baru China, India, Indonesia. Sayang tenggelam kembali di era Megawati dan SBY.
Di awal pemerintah Jokowi ingin mewujudkan kembali visi kemaritiman dengan menjadikan Indonesia sebagai Poros Negara Maritim. Sayangnya Jokowi tak memiliki jiwa cakrawati: jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan hempasan ombak yang menggulung. Dalam lima tahun pemerintahan Jokowi, cita-cita tersebut hanya berhenti pada tol laut.
Jokowi kembali memunggungi laut dan lebih senang mambangun infrastruktur darat: jalan tol, bandara, kereta api, dll. Visi kemaritiman Jokowi berangsur-angsur hilang dari ingatan orang
Hal ini dipertegas kembali dalam pidato kemenangan Jokowi periode kedua. Jokowi betul-betul telah meninggalkan laut. Jokowi akan meneruskan pembangunan infrastuktur, membuka pintu investasi selebar-lebarnya, membenahi birokrasi, meningkatkan perekonomian, dan berjanji akan menprioritaskan pembangunan sumber daya manusia.
impian dan cita-cita kelautan Jokowi tidak muncul sama sekali. Jokowi tenggelam dalam mimpinya sendiri.