Ketika membaca sebuah berita tentang MUI Bandung yang mengeluarkan fatwa untuk mensterilkan Masjid Al Islam dari pengungsi korban penggusuran Tamansari, saya agak kaget. Pertanyaan yang paling mendasar kemudian adalah, kenapa harus ada fatwa itu? Apa urgensinya? Namun alasan yang melatarbelakanginya adalah desakan dari “Umat Islam”, entah umat Islam yang mana, tak dijelaskan, demi terjaganya kemaslahatan dan kondusifitas umat katanya.
Tentu pihak Kabupaten Bandung punya kebijakan sendiri atas hal ini, tapi bukan itu yang akan kita bahas. Mari kita mencoba untuk melihat ke belakang sebentar, bagaimana Masjid pada zaman Nabi difungsikan sebagai apa, apakah hanya tempat ibadah? Jangan-jangan kita saat ini sebagai umatnya lebih kaku beragamanya daripada saat zaman Kanjeng Nabi.
Saya teringat Prof KH Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta. Menurut beliau, masjid pada zaman Rasul masjid berfungsi sebagai kantor pengadilan pidana perdata, balai pertemuan untuk acara pernikahan, akikah, dan kematian. Masjid juga jadi tempat pertemuan lintas agama. Hal itu dibuktikan Nabi saat 60 orang tokoh lintas agama berkumpul di masjid, bahkan menara masjid tidak hanya digunakan untuk mengumandangkan adzan, digunakan juga untuk melihat rumah-rumah penduduk yang tidak berasap dapurnya.
Kita perhatikan, pada kalimat menara masjid juga digunakan untuk melihat rumah penduduk yang tidak berasap dapurnya, adakah penduduk yang sedang kesusahan? Adakah penduduk yang kelaparan? Jika ditarik ke masa sekarang, menara Masjid Al Islam seharusnya untuk melihat para korban penggusuran yang tak mempunyai tempat tinggal akibat tergusur bukan? Silakan bertempat di masjid untuk sementara. Toh para korban penggusuran tersebut tidak akan mengganggu kekhusyuan orang yang sedang beribadah. Namun alasan MUI Bandung adalah atas desakan “Umat Islam” yang entah mereka siapa.
Saat zaman Rasul, masjid tak hanya menjadi tempat ibadah, Dari Utsman bin Yaman, ia berkata, “Ketika para Muhajirin membanjiri kota Madinah, tanpa memiliki rumah dan tempat tinggal, Rasulullah Saw menempatkan mereka di masjid dan beliau namai ashabush-shuffah, beliau juga duduk bersama mereka dengan sikap yang sangat ramah” (HR Baihaqi)
Dari hadist ini kita bisa paham, toh Masjid biasa dijadikan untuk tempat tinggal sementara, apalagi darurat karena rumahnya digusur misalnya, seraya menunggu kepastian kebijakan pemerintah, disatu riwayat lain, Aisyah ra. Berkata, “Pada hari terjadinya perang Khandaq, Sa‘ad ibn Muadz mengalami luka-luka karena di panah oleh seorang kafir Quraisy. Kata Khabban bin Araqah, orang tersebut memanah Sa‘ad pada bagian lehernya. Maka, nabi Saw, membuatkan tenda di masjid, agar beliau bisa beristirahat, karena jarak yang dekat.” (Syamsul Kurniawan, “Masjid Dalam Lintasan Sejarah Umat Islam” dalam Jurnal Khatulistiwa.
Dari gambaran dua hadist tersebut di atas, kita bisa mendapatkan pemahaman bahwa masjid tidak hanya sebagai tempat beribadah, namun juga menjadi tempat segala bentuk pelayanan Sosial-Keumatan. Sebenarnya sudah jamak kita melihat, masjid menjadi tempat pengungsian korban bencana alam, banjir dan lain sebagainya. Namun sekali lagi, adanya fatwa MUI Bandung tentunya, dan harusnya sudah melalui kajian yang komprehensif, bukan hanya soal masjid agar kondusif sebagai tempat ibadah semata.
Tentunya harus juga dilihat dari kacamata kemanisaan dan kemaslahatan umat di sekitarnya. Sangat tidak elok jika masjid menjadi menara gading megah dan kaku sementara umat di sekitarnya dalam kondisi memprihatinkan. Kita tentu bisa berdebat soal salah-benar terkait penggusuran. Namun, sejatinya masjid harus menjadi rumah Tuhan yang ramah bagi umatnya.