Flat Earth, Hoax dan Mudahnya Propaganda Mempengaruhi Kita

Flat Earth, Hoax dan Mudahnya Propaganda Mempengaruhi Kita

Flat Earth, Hoax dan Mudahnya Propaganda Mempengaruhi Kita

 

Beberapa hari yang lalu, saya mendapat terusan WA (WhatsApp), “Dahsyat, ini hanya terjadi 100.000 tahun sekali! Coba jumlahkan umurmu sekarang dengan tahun kelahiranmu, hasilnya adalah angka 2016. Benar-benar langka!” Karena sudah terbiasa merespon berita apa pun yang berseliweran dengan ora kagetan lan ora gumunan (tidak gampang terkejut dan mudah heran), saya santai saja membaca WA tersebut.

Spontan saya balas, “Apanya yang langka? Di tahun depan maupun tahun-tahun selanjutnya jika kita panjang umur, kalau kita jumlahkan umur kita dengan tahun kelahiran, ya ketemunya pasti pada tahun itulah. Jadi apanya yang dahsyat? Apanya yang langka? Terjadi 100.000 tahun sekali dalam hayalan keless… hehehe…”

Di era ketika semua orang memiliki medianya sendiri-sendiri seperti sekarang ini, dan lintasan ide apa saja bisa disebarkan dalam waktu seketika dengan begitu saja, eling lan waspada (senantiasa berpikir sehat dan berhati-hati) mutlak diperlukan dalam mengelola informasi. Karena kalau tidak, maka kita akan menjadi bulan-bulanan. Ya, berseliwerannya pelbagai informasi dari mulai ihwal kuliner, kesehatan, politik, agama, bahkan yang berhubungan dengan spiritualitas, telah mengepung kita di setiap saat. Kalau kita tak memiliki filter yang memadai, kita pasti akan termakan propaganda dan menjadi korban.

Tentang adanya sekelompok orang yang gencar mengkampanyekan kembali keyakinan lama bahwa bumi itu datar (flat earth) misalnya, jika kita tonton di youtube dengan begitu saja, tanpa filter pengetahuan yang valid, bukan tidak mungkin akan membuat kita senewen. Bagaimana tidak? Berbagai pelajaran selama sekolah yang kita sebut ilmiah dan validitasnya kita anggap terukur, dijungkirbalikkan.

Misalnya Kutub Selatan itu tidak ada, yang ada hanyalah tebing es yang mengelilingi permukaan bumi dalam luasan tertentu. Keberadaan satelit-satelit di luar angkasa hanyalah bohongan, sedangkan kisah para astronot yang sudah mendarat di bulan juga omong kosong. Belum lagi kesimpulan-kesimpulan mengejutkan lainnya yang seakan-akan telah didukung oleh riset dan data yang memadai.

Di sisi lain, mereka yang membantahnya, yang telah mengangkangi peradaban berabad-abad lamanya pun kian mendapatkan peluang untuk kian mengokohkan dominasinya. Maka pertanyaannya kemudian, apakah yang disampaikan oleh mereka yang meyakini bahwa bumi itu datar semuanya salah? Sebaliknya, apakah mereka yang selama ini mendewakan sains modern dan berupaya menjadikannya solusi dalam segala bidang kehidupan dapat kita benarkan begitu saja?

Itu baru satu contoh propaganda yang kebetulan tidak seimbang saat dihadap-hadapkan. Bagaimana dengan pola propaganda serupa yang berhubungan dengan politik praktis para elit yang ingin atau sedang berkuasa, misalnya? Juga fatwa atau himbauan ahli-ahli agama yang prilakunya tidak mencerminkan sebagai orang beragama, namun ngotot memaksakan pendapatnya agar diikuti sebanyak-banyaknya orang dengan dalih bahwa hal itu merupakan perintah Tuhan? Dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.

Filter kawruh suryomentaraman sebagai perisai

Ternyata kita memiliki seorang filsuf asli nusantara yang sangat brillian dan memiliki pandangan yang jauh ke depan meskipun sangat bersahaja. Baik bersahaja dalam laku maupun cara berfikirnya. Benar, dia adalah filsuf abad 20 yang lahir tahun 1892 di Yogyakarta dan wafat tahun 1962, Ki Ageng Suryomentaram. Berikut ini adalah dasar pemikirannya yang dapat kita jadikan perisai diri di tengah pusaran kecepatan arus informasi yang kian tak terkendali.

Menurut Ki Ageng, kebutuhan manusia akan kawruh alias pengetahuan yang benar adalah sebagaimana tubuh yang membutuhkan makanan. Karena kawruh merupakan landasan dasar manusia di dalam bertindak. Jika kawruh seseorang tertata, maka tindakan yang berdasar padanya juga akan tertib. Sebaliknya jika kawruhnya berantakan, maka tindakan orang yang bersangkutan pun akan menjadi tidak karuan.

Adapun sumber dari kawruh suryomentaraman adalah weruh, yaitu tahu yang sebenarnya. Weruh setiap manusia menurut Ki Ageng tidak pernah ada batasnya, karena satu-satunya yang dapat membatasi weruh setiap orang adalah ora weruh-nya, yaitu tidak tahu yang disadari. Padahal ketika orang ora weruh menurut Ki Ageng, dia akan tetap weruh, yaitu weruh bahwa dirinya ora weruh.

Jadi dapat disimpulkan bahwa yang diistilahkan dengan weruh dalam kawruh suryomentaraman adalah mengetahui secara jujur, sehingga apa-apa yang diweruhi adalah sebagaimana adanya. Tidak hanya terbawa oleh opini orang lain yang berupa informasi katanya-katanya atau sebatas menduga-duga.

Artinya, weruh akan senantiasa melahirkan pengetahuan yang valid. Karena batasan weruh adalah ora weruh; yaitu ketika seseorang jujur kepada dirinya bahwa ia belum atau tidak mengetahui sesuatu, maka ia tidak akan bersikap sok tahu (ngira weruh). Karena sikap sok tahu sumbernya adalah ora weruh yang dipaksakan hingga ia seakan-akan telah berubah menjadi weruh. Padahal, ora weruh dengan sendirinya akan menjadi weruh justru ketika ia diterima atau diakui dengan jujur.

Pengetahuan yang valid menurut Ki Ageng, yang sumbernya dari weruh, meskipun tidak dibenarkan atau ditentang oleh banyak orang, kebenarannya tidak akan berkurang. Begitu pula saat ia dibenarkan atau dipercayai banyak orang, kadar kebenarannya tidak pernah bertambah. Karena itu sampai kapan pun pengetahuan yang bersumber dari weruh, ia tidak akan goyah. Contohnya adalah pengetahuan 1+1=2.

Berbeda dengan pengetahuan yang bersumber dari ngira weruh, yaitu pengetahuan yang bersumber dari ora weruh namun dipaksakan hingga seakan-akan ia telah weruh. Hasilnya adalah pengetahuan spekulatif. Jika ia dibenarkan atau dipercaya oleh banyak orang, kemantapannya bertambah kuat. Namun ketika ia ditentang oleh banyak orang, akan menjadi lemah dan meragukan. Contohnya adalah pengetahuan tentang bumi datar atau bundar yang hanya berdasarkan pada apa yang dikatakan youtube atau google, misalnya.

Namun jika kita jujur saja bahwa kita ora weruh apakah sesungguhnya bumi itu datar atau bulat, maka dengan sendirinya kita akan menjadi weruh, yaitu kita ora weruh bahwa bumi itu pada hakikatnya datar atau bulat. Dengan demikian, paling tidak kita takkan menjadi korban propaganda oleh mereka yang berusaha memaksakan pengetahuannya bahwa bumi itu datar atau bulat dengan segala motif ikutannya, sampai kita benar-benar weruh sendiri sebagaimana weruh kita bahwa 1+1=2.

Jadi kawruh suryomentaraman yang bersendikan pada weruh yang jujur, termasuk ora weruh-nya tentu saja, memang dapat kita jadikan perisai untuk menahan gempuran pelbagai informasi yang sarat dengan motif-motif yang tidak sepenuhnya kita pahami. Wallaahu a’lam bishshawaab.