Suatu hari Aisyah ikut Rasulullah SAW bersama rombongan. Tatkala rombongan hampir sampai di Madinah, Rasulullah SAW mengomandokan kepada rombongan untuk beristirahat sejenak. Aisyah pun keluar dari sekedupnya untuk suatu keperluan. Saat kembali ke rombongan, Aisyah tersadar bahwa ia kehilangan kalungnya. Aisyah pun kembali ke tempat ia menunaikan keperluannya untuk mencari kalungnya yang hilang.
Akhirnya, Aisyah menemukan kalungnya dan kembali ke rombongan. Akan tetapi, rombongan sudah meneruskan perjalanan. Tidak ada seorang pun dari rombongan yang menyadari bahwa Aisyah tidak ada dalam rombongan, termasuk Rasulullah SAW. Aisyah terdiam dan kebingungan, Ia pun duduk sampai tertidur.
Tiba-tiba, Shafwan bin al-Muaththal al-Sulami al-Dzakwan menemukan Aisyah yang tertidur tanpa hijabnya. Seketika Shawfan mengucapkan kalimat istirja’ “inna lillahi wa inna ilayhi raaji’uun”. Ucapan ini mengagetkan Aisyah dan membuatnya terbangun. Buru-buru Aisyah menutup kepalanya dengan hijab.
Lalu, Shafwan langsung menundukkan untanya untuk Asiyah. Tanpa sepatah katapun dari Shafwan. Begitu juga dengan Aisyah, Ia menaiki unta yang ditawarkan oleh Shafwan tanpa berbicara sepatah katapun. Hingga akhirnya, keduanya dapat menyusul rombongan.
Sesampainya di Madinah, Aisyah jatuh sakit selama hampir satu bulan. Aisyah tidak mengetahui bahwa dirinya sedang ramai dibicarakan orang. Hingga pada suatu malam, Aisyah ditemani Ummu Misthah pulang dari al-Manashi’ (tempat untuk membuang hajat yang jauh dari lingkungan rumah). Ummu Misthah menceritakan bahwa dirinya sedang ramai dibicarakan orang dengan tuduhan melakukan perbuatan tidak baik bersama Shafwan, kabar itu disebarkan oleh Abdullah bin Ubay.
Aisyah terkejut, Ia merasa sangat terpukul dengan cerita tersebut. Ia semakin yakin inilah sebab Rasulullah SAW bersikap aneh kepada Aisyah akhir-akhir ini. Aisyah pun meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk pulang kepada orang tuanya. Rasulullah SAW mengizinkannya. Saat Aisyah bersama ibundanya, Aisyah bertanya memastikan kabar buruk yang menimpanya tersebut. Ibunda Aisyah membenarkan. Aisyah semakin sedih, mengapa tega sekali Abdullah bin Ubay dan orang-orang menuduhnya tanpa bertanya?
Aisyah sehari semalam hanya menangis. Rasulullah SAW merasa resah, bingung dan gelisah. Mengapa Allah SWT tidak cepat memberikan klarifikasi atas berita tersebut? Akhirnya, Rasulullah SAW memanggil sahabat-sahabatnya untuk dimintai pendapat. Sahabat Usamah bin Zaid dan Barirah pun memberi pendapat, selama keduanya bergaul dengan Aisyah, keduanya tidak pernah mendapati darinya suatu keburukan.
Lalu, Rasulullah SAW menemui Aisyah dan mengatakan,“Semoga engkau dijauhkan dari tuduhan ini, dan jika memang benar engkau melakukannya, segeralah bertaubat kepada Allah SWT”.
Hingga, suatu ketika, Allah SWT menurunkan wahyu surat al-Nur ayat 11 sampai 22. Kandungan ayat tersebut merupakan bentuk klarifikasi atas tuduhan yang dilontarkan kepada Aisyah. Akhirnya, Aisyah terbebas dari berita bohong tersebut. Rasulullah SAW sangat gembira, begitu juga dengan Aisyah, Ia juga merasa malu bahwa ceritanya akan diabadikan dalam al-Qur’an. Kejadian tersebut terkenal dengan sebutan Haditsul Ifki, atau berita bohong.
Dari kisah tersebut, kita dapat meneladani sikap kehati-hatian Rasulullah SAW dalam menanggapi suatu berita. Rasulullah SAW tidak langsung mempercayai suatu berita secara mutlak apalagi menyebarkannya seperti yang dilakukan Abdullah bin Ubay, akan tetapi beliau mencari kebenaran berita tersebut terlebih dahulu. Begitu juga dengan Aisyah, Aisyah tidak mentah-mentah percaya cerita yang disampaikan oleh Ummu Misthah. Akan tetapi Aisyah mencari terlebih dahulu kebenarannya.