Pada tahun 1945 silam, meja sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi arena panas kontestasi berbagai gagasan terkait bentuk pemerintahan Indonesia jelang kemerdekaan. Meski secara de jure, ideologi negara berdasakan Pancasila telah disepakati saat itu, namun secara de facto masih ada kelompok yang terus mengaspirasikan perubahan bentuk negara. Artinya, pergulatan ide mengenai konsep negara ideal untuk Indonesia belum benar-benar usai bahkan hingga hari ini.
Sebagai negara dengan penduduk muslim mayoritas, sejak awal pendiriannya, ada sebagian umat Islam Indonesia yang merasa bahwa mereka berhak mendapatkan privelege. Orang-orang ini yang terus mendebat demokrasi, terutama Pancasila, dalam konteks ideologi dan sistem negara.
Kelompok ini mengusung gagasan bahwa Indonesia seharusnya menjadi negara Islam. Di sisi lain, ide kelompok Islam yang bisa dibilang eksklusif ini di counter oleh kelompok Islam lainnya yang bisa disebut inklusif. Kelompok inklusif ini sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar negara mengingat realitas kemajemukannya, selain karena secara substansi dinilai sejalan dengan syariat Islam. Pendapat kedua inilah yang kemudian dipakai sejak kemerdekaan Indonesia hingga saat ini.
Film “Unfinished Indonesia” merekam pergulatan internal umat Islam tersebut dalam bungkus budaya populer. Film dokumenter hasil produk kolaborasi dari Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM, Pardee School of Global Studies, Boston University, dan Watchdoc ini memotret dua arus Islam eksklusif dan inklusif dalam memperjuangkan gagasan masing-masing dalam mempromosikan relasi negara dan agama yang ideal menurut mereka.
Kelompok Islam eksklusif itu diwakili oleh Fatih Karim dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Bachtiar Nasir dari Front Pembela Islam (FPI), dan Zain an-Najah dari Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI). Sedangkan representasi dari Islam inklusif adalah Gus Muwafiq dari Nahdhatul Ulama (NU) dan Abdul Rosyid dari Muhammadiyah yang mewakili kelompok Islam inklusif.
Muhammad Iqbal Ahnaf, salah satu pihak yang bertanggung jawab atas proses produksi film tersebut, menegaskan bahwa pemilihan responden tersebut memang dimaksudkan untuk menunjukkan dinamika kehidupan sosial yang merefeksikan bagian dari kontestasi yang hidup di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Tokoh-tokoh tersebut dinilai yang paling mencerminkan kekuatan penting di dalam kontestasi itu.
“Umat Islam ya harus dipimpin oleh umat Islam, jika mau jujur Indonesia adalah mayoritas Muslim, dan anda adalah penganut demokrasi ya proporsional jika umat Islam yang mayoritas ini dipimpin oleh umat Islam,”
Kutipan di atas merupakan salah satu kutipan dari Bachtiar Nasir, tokoh pendiri Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, di film Unfinished Indonesia, ketika menyorot pernyataan dari kelompok Islam eksklusif. Bachtiar Nasir sedang membincang idealitas kepemimpinan dalam sebuah kawasan. Intinya, menjadi wajar apabila sebuah komunitas dipimpin oleh identitas dominan di wilayah tersebut.
Tokoh yang juga menjadi figur penting di tubuh Front Pembela Islam (FPI) tersebut menganalogikan pulau Bali, misalnya, sebagai satuan terkecil dari Indonesia, yang lumrah dipimpin oleh seorang Hindu, karena di sana mayoritas warganya beragama Hindu.
Salah satu sajian menarik dalam film tersebut adalah hadirnya Abdul Rasyid sebagai tokoh Muslim Muhammadiyah yang menjadi warga minoritas di Pulau Maumere. Abah Rasyid, begitu ia sering disapa, berusaha keras menjaga agar konflik komunal berbasis SARA tidak terulang kembali di wilayah mayoritas beragama Katolik tersebut.
Ia mendirikan lembaga pendidikan mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi yang mengakomodasi pemeluk lintas agama, serta aktif membuka ruang-ruang perjumpaan dengan tokoh-tokoh agama lain. Abah Rasyid, misalnya, bersama para tokoh Muhammadiyah di sana mendirikan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Muhammadiyah di Maumere sebagai lembaga yang terbuka menerima semua kalangan.
Seperti yang dilansir dalam situs film, Abah Rosyid bercerita bahwa pendirian perguruan tinggi Muhamamdiyah di wilayah mayoritas Kristen tersebut tidak bisa dilepaskan dari pengalaman toleransi yang sudah mengakar kuat. Pendirian IKIP Muhammadiyah sendiri menurut Abah Rosyid juga tidak lepas dari support masyarakat Kristen di Maumere.
Saat ini IKIP Muhammadiyah Maumere berkembang menjadi lembaga pendidikan yang cukup maju dan menerima mahasiswa dari latar belakang agama yang berbeda. Tidak hanya mahasiswa yang beragam, tidak sedikit dosen di IKIP Muhammadiyah Maumere beragama Kristen.
Iqbal Ahnaf menegaskan bahwa Unfinished Indonesia diproduksi bukan dalam rangka untuk melawan narasi supremasi itu. Ia menjelaskan bahwa film tersebut hadir sebagai instrumen edukasi kepada publik bahwa kita hidup di tengah keragaman cara berpikir. Film ini menjadi semacam “arsip” pikiran kebangsaan yang siap dikonsumsi oleh publik. Dengan demikian, publik bisa melihat secara keseluruhan bagaimana sistem berpikir orang terkait proses berbangsa ini.
Film ini menarik dan layak untuk ditonton karena bukan hanya sebagai media untuk membuka wawasan kita, namun juga untuk melatih kita untuk berpikir lebih terbuka terhadap segala gagasan tentang Islam dan negara yang tersaji di negara demokrasi ini.
Film tersebut pada akhirnya menyadarkan kita bahwa pergulatan gagasan itu akan terus menerus terjadi tanpa garis finish. Hal itu karena pada dasarnya kita tidak bisa membunuh ide dan memonopoli gagasan. Terlebih, Indonesia bukan negara otoriter yang gemar membasmi gagasan, meski gagasan ekstrem sekalipun.
Ketika Indonesia memilih menjadi negara demokrasi, maka konsekuensi logisnya adalah kehadiran segala bentuk gagasan, ide, pemikiran yang bahkan menguji konsep demokrasi itu sendiri. Ide-ide itu berhak bersirkulasi secara sah dan dilindungi konstitusi di Indonesia. Kesadaran itu nantinya yang akan membuat kita merenung, betapa pentingnya bersikap terbuka terhadap cara berpikir orang lain.