Film Taare Zameen Par: Disleksia dan Kelainan-Kelainan Kita

Film Taare Zameen Par: Disleksia dan Kelainan-Kelainan Kita

Film Taare Zameen Par memang diproduksi di India. Tapi ia tidak sekadar merefleksikan kebudayaan setempat lewat nyanyian dan tarian, tetapi juga kiritik sosial yang lumayan menampar kesadaran kita.

Film Taare Zameen Par: Disleksia dan Kelainan-Kelainan Kita
(Sumber Gambar: Google)

Ishaan tak bisa membaca dan sulit menulis seperti teman-teman sebayanya. Tiap kali ia mencoba mengeja sebuah tulisan, tiba-tiba bukunya mendadak menjadi arena tarian oleh huruf-huruf di dalamnya. Ia tak bisa membedakan antara “b” dan “d”, menulis huruf “h” dan “t” secara terbalik, merubah tulisan “top” menjadi “pot”, serta banyak kesalahan-kesalahan yang lain. Persis seperti masa kecil Pablo Picasso dulu, yang selalu melihat angka “7” dalam posisi terbalik, hingga ia menganggap itu lebih mirip hidung pamannya yang besar daripada melihatnya sebagai sebuah angka.

Begitulah disleksia (dyslexia). Sebuah disfungsi yang umum terjadi pada anak ketika menginjak usia tujuh hingga delapan tahun, yang disebabkan oleh reaksi biokimia otak yang tidak stabil. Penderita disleksia bisa saja anak-anak normal atau bahkan di atas rata-rata, hanya saja perkembangan membaca dan menulis mereka terganggu.

Sebenarnya Ishaan hanyalah tokoh fiktif dalam film Taare Zameen Par (2007). Film ini digarap oleh sutradara sekaligus salah satu peran kunci di dalamnya: Aamir Khan.

Bagi saya, Taare Zameen Par termasuk kategori film (berwajah) India yang recomended untuk ditonton, selain Three Idiot, Slumdog Millonaire dan Life of Pi. Saya sendiri sebenarnya tak terlalu tertarik dengan film-film buatan India, dan suka melewati adegan menyanyi dan menari yang menjemukan. Tapi film ini menawarkan daya tarik tersendiri, meski tetap saya lewati juga adegan-adegan tersebut.

Lantas bodohkah Ishaan? Salahkah dia?

Ishaan setidaknya masih beruntung karena tidak hidup di Jerman pada tahun 1933-1945, ketika Nazi masih menjadi mesin pembunuh yang paling ditakuti di Eropa. Atau, mau tidak mau ia akan menjadi korban “penyapuan” Hitler, laiknya pemimpin berkumis Chaplin itu menghabisi orang-orang cacat lainnya. Dan, itu akan tampak konyol, karena pada dasarnya disleksia bukanlah sebuah kebodohan maupun cacat permanen.

Ishaan adalah simbol. Mereka yang memiliki keterbatasan di satu sisi, selalu punya kelebihan di sisi lain. Juga, sebuah pertanda bagi dunia bahwa dari orang-orang yang (dianggap) berkelainan itulah sudut pandang yang lain pula terlahir.

Taare Zameen Par mengingatkan saya pada tokoh-tokoh dunia seperti Picasso, Leonardo da Vinci, Thomas Alfa Edison, Walt Disney, serta tokoh-tokoh lain. Bahkan Tom Cruise yang mungkin kita lihat tampak sempurna, sebenarnya ia merupakan orang yang “lain” juga. Mereka semua adalah penderita disleksia, atau saya lebih suka menyebutnya “disleksia positif”.

Terdengar paradoksal memang, jika disleksia adalah barang negatif yang cenderung ingin dihindari namun ada imbuhan positif di belakangnya. Tapi maksudnya adalah mereka yang sudah terlanjur terjangkit disfungsi tersebut dan mustahil untuk menghindar, setidaknya bisa mengalihkan perhatiannya pada pengembangan potensi mereka daripada membuang waktu meratapi kelainannya sendiri.

Katakanlah Walt Disney; bermasalah dengan huruf, ia mengisi hidupnya dengan kartun. Sebuah dunia kecil di atas kertas yang kini sudah merambah ke dua dunia sebenarnya: dunia hiburan dan komersial. Disney pun menciptakan sejarah dengan caranya sendiri.

***

Satu hari di tahun 2015, tepat setelah khatam menonton Taare Zameen Par, saya berkunjung ke Jogja National Museum untuk menghadiri sebuah pameran. Berbekal ajakan seorang kawan yang langsung saya iyakan, saya awalnya tak paham ada pameran apa dan oleh siapa.

Setiba di sana, di lokasi museum yang berseberangan dengan bekas Sanggar Bumi Tarung (sanggar seni rupa di bawah naungan Lekra) itu, saya disambut dengan tulisan besar yang membentang: Disleksia.

Ternyata itu merupakan tajuk yang diberikan oleh para mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja yang sedang menyelenggarakan pameran satu angkatan di sana.

Begitulah seringkali terjadi. Ada letupan-letupan kebetulan, yang menurut budayawan Emha adalah sebuah kebenaran yang memang harus terjadi; bahwa Tuhan semacam telah merancangnya sedemikian rupa, hingga saya lebih sering merasakannya sebagai cara Tuhan “memperkuat kesan” pada hamba-Nya. Kali ini, kesan itu bernama disleksia, yang akhirnya kekuatan dari kesan itulah yang melandasi saya tergerak untuk menulis esai pendek ini.

Kembali pada disleksia dan kelainan kita yang lain; bahwa kepekaan pada pertanda inilah yang juga menjadi kelainan saya yang (mungkin) membedakan dengan orang lain. Itu hanyalah salah satu contoh. Ada puluhan kelainan saya, baik positif maupun negatif, yang tak mungkin saya ungkapkan semuanya di sini. Begitu pula dengan anda, mereka dan masing-masing individu yang merasa mempunyai kelainan yang membedakannya dengan orang lain.

Ketika masuk ke dalam ruang pameran, saya merasakan atmosfer yang berbeda: atmosfer orang-orang seni. Sama sekali berbeda dengan atmosfer di mana saya tinggal, saya melihat kelainan di sana. Bau cat, dan bau-bau aneh lain, kaos oblong (maksudnya benar-benar oblong), rambut gondrong, gelagat asing, bahasa dialog yang english mix, adalah sesuatu yang saling membentuk kata “lain” tersebut. Sebenarnya kelainan itu bisa dibilang sebagai sebuah sudut pandang. Sebuah kelainan, menjadi tidak lain lagi jika kita menjadi bagian di dalamnya.

Kelainan seperti itu bukanlah salah, bukan juga menjadi masalah. Justru kelainan pada diri setiap manusia atau (lebih luas lagi) kelompok, merupakan sebuah dasar yang membentuk identitas. Kita baru bisa dikatakan memiliki identitas jika ada hal yang membedakan diri kita dengan yang lain. Seorang saudara kembar yang seidentik mungkin, tetap bisa dibedakan melalui tanda-tanda pada diri mereka, entah itu nama, sifat, atau kebiasan yang terlihat sepele sekalipun. Malaysia tidak akan disebut sebagai “Malaysia” jika tidak ada yang membedakannya dengan negara lain, dalam banyak elemen tentunya. Meskipun negara Siti Nurhaliza itu mampu “memindai” segala kebudayaan yang Indonesia miliki, ia tak akan cukup mampu untuk merubah eksistensinya menjadi negara Indonesia. Karena memang banyaknya elemen yang masih tetap bisa dibedakan dari negeri kita ini, seperti (katakanlah) jumlah pulau misal.

Seno Gumira Ajidarma, dalam bukunya Kentut Kosmopolitan, beberapa kali menyinggung perkara ini. Perkara kebutuhan kita yang mesti memiliki “pembeda” jika ingin disebut beridentitas. Terkait hal ini, ada beberapa masalah identitas yang sering kita temui sehari-hari. Salah satunya adalah tentang budaya relasi anak dan orang tua, lebih tepatnya tentang pemaksaan identitas.

Keinginan orang tua yang didorong oleh arus budaya global maupun lingkungannya, seringkali mengorbankan mimpi-mimpi seorang anak, membendung potensi dan cukup mematahkan semangat. Sudah jamak kita temui, adanya orang tua yang menginginkan anaknya menjadi ini dan itu tanpa mengompromikannya terlebih dahulu pada yang bersangkutan. “Sukses adalah ketika kau menjadi pegawai negeri, nak!”  kata mereka. Atau, “Sukes adalah ketika kau berhasil masuk industri ini, nak!”. Beberapa orang tua menganggap barometer kesuksesan adalah materi atau pangkat, bukan rasa nyaman dan kebahagiaan. Kita tak pernah tahu, Ishaan yang lebih mirip Picasso itu sangat menderita ketika orang tuanya menginginkan ia bekerja di kantoran, lantas memaksanya dengan segala macam tuntutan di luar potensi aslinya.

Sekali lagi, tidak semua orang tua memang, tapi tetap saja ini masih umum di masyarakat kita. Tak semua orang tua tahu kata-kata filosofis Kahlil Gibran yang selalu mendukung kebebasan ekspresi anak itu: “Anakmu bukanlah anak-anakmu.” Seorang anak mempunyai kelainannya masing-masing, yang lantas menjadi pembeda dengan anak lainnya, dan lebih lanjut, itulah yang menjadi identitas mereka. Maka sangat disayangkan, ketika para orang tua tak ingin anaknya menjadi berbeda. Mungkin perbedaan telah mereka anggap sebagai bentuk ketidakwajaran.

Saya sendiri termasuk anak yang beruntung, sejak awal tak pernah dibentuk menjadi identitas yang diinginkan orang lain. Sejak kecil saya selalu bebas mengekspresikan “kelainan” saya. Pernah suatu waktu saya bercita-cita untuk menjadi penjaga perlintasan kereta api, bukan menjadi guru ataupun dokter. Ya, karena waktu itu saya begitu menyukai kereta api, sehingga saya berpikir bahwa dengan menjaga palang pintu perlintasan, saya bisa melihat kereta api lewat setiap hari. Meski keinginan itu tidak abadi, dan selalu berubah setiap masanya, tapi itulah identitas saya ketika kecil. Identitas yang tidak sama dengan kelainan anak-anak lain.

Kita yang tak bisa membaca sebanyak orang lain, tak bisa menulis sebagus orang lain, tak bisa menghafal secerdas orang lain, tak bisa menyanyi seindah suara orang lain, bukanlah sebuah masalah bagi kita. Karena kita bukan orang lain, dan sangat tidak menutup kemungkinan bahwa kita juga memiliki kelainan yang tidak dimiliki orang lain. Mungkin orang lain tak mampu menggambar sekreatif kita, mungkin orang lain tak mampu berdiplomasi selancar kita, mungkin orang lain tak mampu seromantis perlakuan kita, karena orang lain itu juga bukan kita. Itulah yang dinamakan identitas tadi.

Kelainan kita bukanlah air bah yang akan menenggelamkan kita pada arus mainstream yang dibangun lingkungan kita, dan juga bukan aib yang harus ditutup-tutupi selama itu hal yang positif. Kelainan kita hanya perlu dikampanyekan, dan dimodifikasi agar arus mainstrem yang telah terbentuk itu menyambutnya dengan hangat. Dari sana, kita hanya memerlukan satu syarat saja: “suka”. Bukankah pekerjaan yang paling menyenangkan adalah bekerja sesuai hobi (kesukaan) kita?

Saya ingat kalimat bijak yang pernah diucapkan oleh dosen saya yang paling humoris, sehingga kalimat bijak ini terasa sangat mahal ketika keluar dari lisannya, “Jadilah diri sendiri. Karena ketika kita mengikuti orang lain, sejatinya kita telah tertinggal darinya. Ketika kita maju selangkah, maka ia juga selangkah maju di depan kita.”