“Bukan karena kebaikan yang membuat mereka kaya, tetapi karena mereka kaya yang membuat mereka menjadi baik.” Pernyataan tersebut menyiratkan gugatan seorang istri (diperankan Jang Hye-jin) kepada suaminya yang marjinal (diperankan Song Kang-ho) dalam film “Parasite“.
Inilah satu-satunya film Asia yang berhasil meraih anugerah film terbaik dalam sepanjang sejarah Oscar sejak 1927 lalu. Kemenangan film besutan sutradara Korea Selatan (Bong Joon-ho) ini, memancing banyak kontroversi, bersamaan dengan maraknya resensi dan sinopsis yang makin bermunculan di berbagai media nasional dan internasional akhir-akhir ini.
Menyaksikan film Parasite, bagi saya, tak ubahnya dengan membaca lembaran-lembaran novel pengarang Jerman, Heinrich Boell, Fuersorgliche Belagerung. Dua kata ini bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi agak panjang, “Serangan Pengepungan Demi Masa Depen”. Sebagaimana penggarapan film Parasite, apa yang menjadi tema sentral dari novel-novel Boell adalah impian dan harapan orang-orang yang terpinggirkan (marjinal).
Ia sekaligus menyiratkan kemarahan kaum miskin terhadap orang-orang yang secara struktural berada di posisi kaya. Tanpa menyebut istilah “kapitalisme”, protes amarah itu tergambar jelas melalui bahasa sineas yang memukau jutaan pemirsa di seluruh dunia.
Parasite sekaligus membicarakan keluarga yang hidup di tengah kebudayaan berteknologi tinggi di Korea Selatan, yang mengakibatkan jurang menganga antara si kaya dan si miskin. Kesedihan yang penuh simpati – meski dibalut dengan humor-humor satiris – tetap menunjukkan kehidupan suram kaum miskin yang merasa terasing di negerinya sendiri. Sementara, beberapa gelintir orang kaya hidup di menara-menara gading, sambil membangun bunker-bunker sebagai simbol ketakutan akan ancaman perang nuklir yang bisa dikobarkan Korea Utara selaku negeri tetangganya.
Sungguh merupakan tema sederhana, sekaligus peringatan bagi para sineas kita yang suka menampilkan plot-plot adegan yang genit dan glamor, tapi kurang mampu menerjemahkan tema-tema substansial dan religius yang otentik. Karena itu, tak pernah mengenai sasaran dalam khazanah perfilman berskala internasional.
Protes amarah yang menggugat kaum kaya-raya, juga sangat fasih dijelaskan John Steinbeck (Amerika Latin) dalam novelnya yang terkenal “Tortilla Flat”. Digambarkan tentang marjinalitas orang-orang kota yang hidup serabutan. Keluarga para pengangguran yang serba kacau dalam diri sendiri, lalu merencanakan angan-angan muluk untuk masa depan tanpa harus berbuat banyak. Dengan demikian, muncullah impian dan angan-angan kosong yang kadang menjebak mereka pada sifat-sifat yang amoral.
Begitupun dalam Parasite dapat disaksikan keluarga (Asia) penipu ulung, yang merasa bahagia dapat menipu orang-orang kaya demi pertolongan dan penyelamatan nasib keluarganya sendiri. Keluarga yang tak keruan ini, pada suatu hari dihadapkan oleh hal-hal di luar rancangan dan dugaannya, yakni agenda Tuhan yang pada gilirannya harus terjadi, maka terjadilah (kun fayakun). Suatu hukum alam yang membelit kehidupannya, pada saat mereka tak menyadari bahwa kausalitas itu muncul akibat ulah dirinya sendiri.
Hal ini paralel dengan pernyataan penulis novel Perasaan Orang Banten, dalam acara bedah bukunya di Rumah Dunia (Banten), bahwa tokoh-tokoh dalam novel tersebut pada akhirnya terperosok satu persatu ke dalam lubang, pada saat mereka tidak lagi menyadari bahwa lubang-lubang itu adalah hasil galiannya sendiri, akibat dari pilihan hidupnya sendiri.
Coba cermati penokohan dalam Perasaan Orang Banten. Misalnya, nasib Tohir yang berakhir tragis di rumah sakit karena baku-hantam dengan orang-orang Batak di restoran Padang (setelah salat Jumat). Bi Marfuah, sang pencari jodoh (dan pengumbar gosip) juga tak kuasa menahan kesedihan hidup dalam kesendirian, karena ditinggalkan anaknya yang kemudian menikah tanpa sepengetahuannya.
Haji Mahmud tak bisa menghindar dari kuasa Tuhan manakala keranjingan berjudi, yang kemudian diprotes habis-habisan oleh istrinya lalu melaporkannya kepada tokoh agama. Tak kalah seru, sang pengusaha Bang Jali justru dihajar istrinya sendiri karena diam-diam sering bercumbu mesra dengan seorang waria di Pasar Kelapa. Bahkan, Taufik (sang penyair) yang juga tepergok satpam sewaktu membobol kantor pengusaha Tionghoa, lalu digelandang ke Polres Cilegon.
Lalu, siapa yang salah, atau siapa yang mesti dipersalahkan atas kejadian-kejadian itu? Pertanyaan abadi ini mengebor terus dari waktu ke waktu, yang sekaligus mengandung peringatan resi sastra berformat besar. Penulisnya memang mampu membahasakan kejadian-kejadian berinti religius, melalui pikiran dan perasaannya, lalu menerjemahkannya dalam pelukisan literatur yang sangat memukau.
Di sisi lain, ada juga gugatan dari kaum kaya-raya dalam film Parasite, bahwa dalam diri kaum marjinal tersimpan pula benih-benih mentalitas korup, meskipun kesempatan berbuat korupsi belum ada dalam diri mereka. “Tetapi kalau Anda menjadi saya, tidak menutup kemungkinan Anda pun akan melakukan hal-hal yang sama seperti saya,” demikian orang kaya berseloroh.
Karya sastra lainnya dari kreasi Steinbeck yang mendekati format pewartaan Parasite, yakni novel cemerlang berjudul “The Pearl”. Ia membicarakan orang-orang pinggiran kota, perihal seseorang yang tiba-tiba kaya mendadak lantaran menemukan mutiara pada saat ia menyelam. Sebutir mutiara yang menghebohkan itu menjadi bahan perbincangan di seputar tokoh-tokoh yang ditampilkannya. Mau tidak mau ia dituntut agar menjadi seorang dermawan yang serba dadakan.
Awal mulanya, si penyelam miskin bersama istrinya menduga bahwa mutiara berharga mahal itu adalah simbol dari kemegahan duniawi. Hal ini mengentakkan ingatan kita pada simbol “batu jimat” yang terus-menerus dalam genggaman si anak sulung dalam Parasite, yang pada akhirnya harus dikembalikan ke habitatnya. Peristiwa ini bisa disandingkan pula dengan keris sakti dalam genggaman Mbah Durip dalam novel Perasaan Orang Banten, yang dianggap sebagai pendatang rezeki dan penangkal marabahaya.
Begitupun dalam novel The Pearl, mutiara itu diibaratkan kunci surga firdaus yang berada dalam genggaman keluarga. Mereka membayangkan kehidupan masa depan yang serba mewah dan membahagiakan. Tetapi, rupanya perkiraan ini meleset drastis.
Akibat kehadiran mutiara itu – sebagaimana simbol batu jimat tadi – justru menimbulkan komplikasi-komplikasi batin yang tidak kepalang tanggung. Ia menjadi penyulit jalan hidup yang merepotkan dalam dunia yang serba kalut dan tamak. Sampai pada akhirnya, keluarga itu memutuskan untuk melemparkan kembali mutiara itu ke tengah laut. Inilah yang menjadi moral massage, sekaligus menyiratkan pesan religius dari Steinbeck: “Kehidupan sederhana dan apa adanya, jauh lebih menentramkan batin, ketimbang diselubungi kemelut uang dan keserakahan.”