Film Horor Itu Mestinya Lebih dari Soal Hantu dan Hal-hal yang Bikin Merinding

Film Horor Itu Mestinya Lebih dari Soal Hantu dan Hal-hal yang Bikin Merinding

Laksana komedi, film horor juga harus meninju ke atas, menantang mereka yang menyalahgunakan kekuasaan.

Film Horor Itu Mestinya Lebih dari Soal Hantu dan Hal-hal yang Bikin Merinding
Ilustrasi: Sala satu scene film “Pengabdi Setan”

Apa yang pertama kali terpikir jika kamu mendengar kata horor? Umumnya, orang mengasosiasikan kata “horor” dengan hantu dan hal-hal mistik lainnya. Padahal, “horor” bisa lebih kompleks dari itu, apalagi film horor. Kemunculan hantu secara tiba-tiba justru dianggap tidak mencerminkan kehororan adegan.     

Aislinn Clarke, dosen Studi Film di Queen’s University Belfast, pernah menyoroti hal itu dalam artikel berjudul “Why true horror movies are about more than things going bump in the night”.

Clarke, yang juga seorang sutradara film horor, mencatat perubahan signifikan dalam genre film horor satu dekade terakhir. Katanya, para kritikus tampaknya terkejut dengan evolusi film horor Barat modern–meskipun mereka seharusnya tidak terkejut, mengingat kejutan adalah salah satu trik klasik yang sering dicemooh oleh kritikus.

Apa Itu Horor?

Menurut Clarke, film horor tradisional laiknya wahana hiburan yang memicu ketegangan dan kemudian berakhir dengan teriakan penonton, sebuah siklus yang terus berulang secara mekanik. 

Namun, paradigma ini telah berubah seiring hadirnya film-film seperti Hereditary (2018) karya Ari Aster, Get Out (2017) karya Jordan Peele, dan The Witch (2015) karya Robert Eggers. Ketiga film tersebut mendapat pujian di media mainstream karena ambisi mereka yang tinggi, kesadaran sosial, dan nilai artistik yang mendalam.

Meskipun demikian, Clarke melihat bahwa ada kecenderungan di sejumlah kalangan kritikus untuk mengklasifikasikan film-film tersebut justru sebagai kesalahan kategoris, menganggapnya tidak bisa disebut film horor karena horor sejauh ini identik dengan wahana hiburan yang mendebarkan hati dengan adegan jumpscare.

“Padahal film ‘shock horror’ yang hanya mengandalkan elemen kejutan cenderung lebih mirip dengan pornografi daripada seni,” kata Clarke. “Jadi ini adalah tentang ekstremitas visual, alih-alih inti cerita horor.” 

Setelah pornografi, menurut Clarke, horor adalah genre film dengan pendapatan tertinggi. “Maka tidak heran kalau kritikus mencoba memindahkan film-film yang mereka sukai keluar dari kategori ini dan merehabilitasinya.”

Artikel-artikel di Hollywood Reporter dan Washington Post, misalnya, mencoba mengklasifikasikan ulang film-film seperti Get Out dan Hereditary sebagai “elevated horror“, “smart horror“, atau “post horror“. 

Walaupun begitu, Clarke tetap menekankan bahwa istilah-istilah tersebut tetap berarti horor. Dan ketiga film-film itu, melalui metafora dan fantasi, secara fantastis mengungkapkan fakta yang kelam (a dark truth).

Mendefinisikan Ulang (Film) Horor

Clarke membedakan antara film menakutkan (scary movie) dan film horor. “Film menakutkan hanya akan menakut-nakutimu dengan momen kejutan singkat yang segera diikuti dengan kelegaan. Sedangkan horor adalah kesadaran bahwa hal terburuk benar-benar berada tepat di depan mata Anda, tanpa adanya kelegaan.”

Clarke mengambil contoh dari film debutnya, The Devil’s Doorway (2018), yang bisa saja menjadi film menakutkan dengan elemen found-footage. Namun, ia memilih pendekatan berbeda, berfokus pada genre horor yang ia definisikan dengan sangat subversif. 

Film The Devil’s Doorway ini berlatar di Magdalene Laundry, salah satu peninggalan angker dari masa lalu Irlandia. Di sana para perempuan–ibu yang belum menikah, gadis yang dianggap bermasalah, dan lesbian–dikurung dan dipaksa bekerja oleh gereja Katolik atas nama pelayanan terhadap negara.

“Ceritanya, di tahun 1960 dua pendeta datang untuk mendokumentasikan mukjizat Maria yang diduga terjadi di sana. Saat menggali lebih dalam, mereka menyadari kenyataan mengerikan yang tersembunyi di balik tembok-tembok itu,” jelas Clarke. 

Ia mengakui bahwa memang terdapat hal-hal menyeramkan dalam Film The Devil’s Doorway. “Namun horor yang sebenarnya terjadi adalah lambannya kesadaran para pendeta akan kedurjanaan yang didukung dan dibiarkan oleh koalisi gereja-negara,” tegasnya. 

Menantang Kekuasaan

Clarke menyadari bahwa film horor dengan latar sejarah dan kritik sosial seperti itu mungkin akan mengejutkan kritikus karena risikonya akan dianggap anomali. Karenanya, ia segera menegaskan bahwa horor dan komedi pada dasarnya memiliki keterkaitan dalam cara mereka memancing reaksi pra-analitis dari penonton.

“Jordan Peele, yang memenangkan Oscar untuk film Get Out, memulai karirnya sebagai penulis komedi. Laksana komedi, horor juga harus meninju ke atas, menantang mereka yang menyalahgunakan kekuasaan,” kata Clarke. 

Dalam pengertian ini, sebetulnya tidak ada yang tidak bisa kita leluconkan atau masukkan ke dalam film horor selama itu dilakukan dengan itikad baik. Mengapa demikian?

“Sebab dunia ini penuh dengan kengerian yang harus diungkapkan,” tandas Clarke. 

Dengan transformasi ini, Clarke berharap bahwa film horor dapat terus mengeksplorasi tema-tema mendalam dan memancing refleksi dari penonton, alias bukan sekadar memberikan kejutan sesaat.