Filep Karma, Gus Dur, dan Papua

Filep Karma, Gus Dur, dan Papua

Nama Gus Dur akan selalu dikenang oleh masyarakat Papua. Karena jasanya dalam menghargai nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan.

Filep Karma, Gus Dur, dan Papua
Filep Karma tak pernah surut memperjuangkan hak-hak warga Papua yang kerap mengalami ketidakadilan dan diskriminasi. Menjadi tahanan politik selama 11 tahun adalah bagian dari kisah pejalanan hidupnya. “Saya tidak tahu, kapan Papua akan merdeka, yang tahu hanyalah Tuhan semata. Kita hanya akan terus berusaha, sampai Tuhan memanggil kita.”terang Filep Karma. Senin malam (22/8), ia menjadi tamu kehormatan dalam acara diskusi bersama para aktivis, wartawan, dan anak muda yang tengah menggeluti isu Papua di Griya Gusdurian.

Tidak banyak perjumpaan Filep Karma dengan Gus Dur. Namun hal yang sangat dikenang selama Gus Dur menjabat sebagai kepala negara adalah berkurangnya tindakan represi dan kekerasan yang dilakukan oleh militer kepada masyarakat Papua. Mengingat pemerintahan sebelumnya yang sangat militeristik. Dan banyak tahanan politik yang dibebaskan disaat Gus Dur menjabat sebagai Presiden. Gus Dur juga secara terus menerus mendorong supremasi sipil.

Filep Karma pernah bertanya kepada Gus Dur, bagaimana sikapnya kalau Papua merdeka di jamannya? Apa jawaban Gus Dur? “sumpah saya sebagai presiden RI adalah menjaga keutuhan NKRI. Tapi sebagai humanis, perintah saya hanya tangkap, tapi nanti dilepas kembali.” Filep menilai, bahwa sebagai presiden, Gus Dur tentu harus mengambil langkah-langkah yang seharusnya diambil oleh seorang presiden. Namun sisi humanis yang membuatnya melunak. Sisi kemanusiaan yang diperlihatkan oleh Gus Dur.

Sebagai tokoh bangsa, Gus Dur dikenal sangat dekat dengan masyarakat Papua. Orang Papua merasa dianggap ‘ada’ ketika diperbolehkannya bendera bintang kejora berkibar, serta pengembalian nama nama Papua yang sebelumnya Irian Jaya.

Tidak hanya sekadar simbol, namun martabat serta harga diri mereka diakui. Hal itulah yang menjadikan Gus Dur selalu ada di hati mereka. Gus Dur sebagai sosok presiden yang lebih mengedepankan dialog. “Itulah yang kami harapkan,” terang Filep Karma. 

Filep menjelaskan bagaimana hak-hak masyarakat Papua semenjak kemerdekaan bangsa Indonesia hingga sampai hari ini, masih terus menerus mengalami diskriminasi. Parahnya adalah ketika Trikora masuk, setiap orang Papua berkumpul, langsung dituduh pemberontak. Ditangkap, lalu dipenjara. 

Stigma negatif pun melekat kepada orang-orang Papua yang dianggap tertinggal dan sulit maju. Konflik, penyiksaan oleh aparatur negara, bahkan tragedi berdarah, mayat bergelimang dimana-mana memenuhi jejak bumi Cendrawasih ini. Bahkan, kekayaan mereka sampai hari ini terus menerus dikuras oleh bangsa asing.

“Kekayaan Papua diambil, tapi kami tetap tertinggal. Kami minta hak kami, tapi malah dituduh pemberontak dan ditangkap.” ujar Filep.  Hal itulah yang menjadikan masyarakat Papua ingin menuntut haknya di tanah kelahiran mereka sendiri.

Filep menjelakan bahwa problem Papua hari ini diantaranya adalah tidak banyak cerita-cerita asli yang muncul di media terhadap kondisi Papua yang sebenarnya dan Papua juga tidak punya tokoh pemersatu. 

Di samping itu, terdapat kesalahan warisan di generasi Papua hari ini, yang menganggap bahwa kekuasaan adalah hak bagi orang-orang yang berjuang. Pejuang adalah calon penguasa. Padahal, presiden dan penguasa itu bukan produk dari pejuang. Penguasa itu terpilih dari haknya rakyat dan itulah esensi dari demokrasi.

M. Autad An Nasher, penulis adalah pegiat di Jaringan Gusdurian.

sumber: http://www.gusdurian.net/id/article/all-categories/Filep-Karma-Gus-Dur-dan-Papua/