Fikih Sastrawi Ulama Nusantara

Fikih Sastrawi Ulama Nusantara

Jika islam nusantara adalah sebuah konsep, maka adakah sebutan ulama nusantara? Tulisan ini mencoba mengulik itu.

Fikih Sastrawi Ulama Nusantara

Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menemukan kitab Nuzhat Alibba’ fi Thabaqat al-Udaba’ karya Ibnu al-Anbari (w.577 H/1181 M) di perpustakaan Sang Kakek, Hadratus Syaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari. Kitab itu merupakan ensiklopedia biografi pakar bahasa Arab dan sastrawan kenamaan Timur Tengah, mulai Abu al-Aswad al-Dauli, Sibawaih, Abu Nuwas sampai Ibnu al-Syajari—guru dari mushannif.

Gus Dur sedikit heran, mengapa kakeknya menyimpan kitab yang kebanyakan hanya dimiliki oleh penggelut ilmu linguistik dan kesusastraan itu. Padahal kakeknya konsentrasi terhadap ilmu hadits dan fikih. Pun akhirnya, Gus Dur menyimpulkan bahwa seorang cendekiawan seyogyanya tidak hanya fokus dalam satu bidang keilmuan, justru dianjurkan mendalami ranah yang lain agar memiliki pandangan yang semakin luas.

Kiai Hasyim memang banyak menulis karya bernuansa fikih namun sejauh ini belum ditemukan karya sastranya. Meski demikian, pendiri NU itu juga menaruh perhatian khusus dalam dunia sastra. Salah satunya seperti yang pernah diceritakan Kiai Mushlih Mranggen, ketika negeri ini dilanda paceklik (kemarau panjang) Kiai Hasyim menganjurkan kepada para santri dan masyarakat membaca kasidah ‘Ya Rahmatallahi Zuri’. Anjuran membaca puisi 47 bait berbahasa Arab karya Habib Abdullah Al-Haddad itu pun membuahkan hasil yang diharapkan.

KH Achmad Shiddiq yang juga murid Kiai Hasyim, menyusun kitab Tanwir al-Hija yang merupakan nadham (puisi berbahasa Arab) atas kitab fikih buah pena Syaikh Salim al-Hadrami berjudul Safinah al-Naja. Karya semacam inilah yang penulis sebut sebagai ‘fikih sastrawi’ di mana pasal-pasal hukum Islam (fikih) disusun bukan dengan metode narasi deskriptif pada umumnya, melainkan berupa nadham yang hanya bisa dikarang oleh mereka yang memiliki dzauq syair atau jiwa kesastraan yang tinggi.

Kitab nadham Kiai Achmad Shiddiq ini menjadi fenomenal karena seorang ulama bermadzhab Maliki di Makkah, Syaikh Muhammad Ali al-Maliki,  mengapresiasinya dengan menyusun anotasi (syarah/kitab penjelas) berjudul Inarah al-Duja. Kitab itu dicetak dan didistribusikan luas di Timur Tengah, Afrika dan Asia Tenggara.

Senada dengan itu, Kiai Ma’shum Siradj asal Cirebon juga menyusun karya fikih sastrawi bertajuk Nail al-Raja. Kitab nadham tersebut disyarahi oleh Dr KH MA Sahal Mahfudz berjudul Faidh al-Hija dan mendapat taqridz (endorsement) dari guru beliau al-Allamah KH Zubair Dahlan ayahanda Kiai Maimoen Zubair, Sarang, Rembang.

Seorang waliyullah dari Pasuruan, Kiai Abdul Hamid, ternyata juga menggubah nadham yang diadaptasi dari Sullam al-Taufiq, sebuah kitab fikih bercorak sufistis ghazalian karya Sayyid Abdullah bin Husain Ba’alawi. Tak hanya di Pasuruan, kitab ini banyak dijadikan sebagai materi wajib di berbagai pesantren, seperti salah satunya Pesantren Darussalam, Blogagung, Banyuwangi.

Baru-baru ini penulis mendapat kiriman kitab dari putra Kiai Shadiq Hamzah berupa beberapa kitab karya sang ayah. Salah satu kitab itu berupa nadham berjudul Durar al-Qayyimah. Meski belum tersebar luas, kitab karya kiai asal Demak itu rencananya  akan ditahqiq terlebih dahulu.

Di luar kitab-kitab yang penulis sebutkan di atas, masih banyak kitab nadham yang ditulis oleh ulama Nusantara. Karya-karya itu menunjukkan bahwa ulama kita memiliki disiplin keilmuan yang tinggi, terutama dalam kajian fikih dan sastra, yang tak kalah dibanding dengan ulama luar. Sebab, karya berupa fikih sastrawi pun bisa dihitung, seperti yang termasyhur al-Zubad karya Ibnu Ruslan yang dijuluki sebagai ‘al-Fiyah kedua setelah Al-Fiyah Imam Ibnu Malik karena berjumlah seribu bait.

Selain Ibnu Ruslan ada juga Syaikh Syarafuddin Yahya al-Amrithi yang menggubah  dua nadham Nihayah al-Tadrib hasil adaptasi dari kitab Ghayah al-Taqrib Ibnu Suja’ dan al-Taisir yang dinadhamkan dari kitab al-Tahrir. Kitab ini cukup masyhur di kalangan sarjanawan Muslim Yaman dan santri Nusantara karena bercorak fikih Syafi’iyah.

Kini, kita harapkan dari rahim pesantren lahirlah karya-karya fikih sastrawi lainnya. Orang-orang pesantren dituntut lebih produktif, kreatif dengan tetap menjaga tradisi. Sedangkan pihak luar pesantren yang hendak berkontribusi bukan hanya—misalnya—mengadakan lomba baca kitab, tapi juga lomba mengarang kitab, terlebih berupa fikih sastrawi. Wallahu A’lam. []

Fathurrahman Karyadi adalah Santri yang jurnalis di salah satu media nasional. Bisa ditemui di  @Atunk_Oman