“Melalui Festival Islam Kepulauan PCINU Belanda mengapungkan suatu persembahan sosial yang telah menggerakkan setiap komunitas orang Indonesia yang ada di Belanda yang berbeda latar belakang kelas dan agama untuk turun tangan dan bersosial sedemikian sehingga festival itu menjelma menjadi milik bersama dan memancarkan wajah inklusif orang kepulauan.”
Di negeri jauh di Belanda ini dunia saintifik-teoretik apalagi ilmu sosial humaniora sudah malu hati jika hanya terobsesi untuk memproduksi teori, publikasi ilmiah apalagi jargon belaka.
Di benak banyak calon ilmuwan sudah ada keinsyafan bahwa produksi pengetahuan seperti tesis atau disertasi paling hanya dibaca serius tidak lebih oleh 5-10 orang saja. Tak ada jaminan karya itu bisa menjangkau publik (critical mass).
Dunia akademik tidak pernah kedap dari pengaruh kapitalisme pendidikan yang sering memujakan individualisasi dan obsesi kepada pencapaian karir diri sendiri setinggi langit betapapun terasingnya mereka dari kehidupan sosial.
Kini para sarjana yang tercerahkan menyuarakan pentingnya menyambungkan scholarship dan aktivisme sebagai pendekatan penting untuk mengarahkan agar penelitian dan tingkah laku akademis memiliki dampak yang bermakna sosial.
Itulah mengapa muncul istilah scholar-activist dan pendekatan bernama intersectionality sebagai framework untuk membaca kenyataan sosial dan masalah sosial yang kompleks dimana faktornya tidak pernah berdiri sendiri melainkan multi-faktor.
Audre Lodre, seorang intersectional feminist pernah mengatakan “There is no such thing as a single-issue struggle because we do not live single issue lives.” “Tidak ada yang namanya perjuangan dengan satu isu saja karena kita tidak pernah menjalani kehidupan satu isu belaka.
Melalui pendekatan interseksional tersebut kita dapat lebih tajam dan basah menelisik masalah sosial humaniora menggunakan lensa yang beragam dan menjelaskan relasi kuasa dan bagaimana masalah sosial seperti ketidakadilan dan ketidaksetaraan terbentuk dan berjalin-kelindan dengan isu kelas, ras, etnik, gender, dan dimensi lainnya.
Atas dasar kesadaran dan suasana sosial semacam itulah PCINU Belanda yang bertumpu pada 100 tahun lebih warisan dan DNA pergerakan kemerdekaan Indonesia di Belanda menggelar Festival Islam Kepulauan. Tujuannya merayakan wajah material Islam di sebuah bentang kepulauan Indonesia melalui segenap ekspresinya yang tidak pernah homogen melainkan penuh cita rasa dan nuansa-nuansa tempat pengejawantahan khasanah Ilahi.
Melalui festival ini Tuhan Yang Maha Pencipta didekati tidak hanya melalui kitab suci dan teks melainkan melalui manifestasi dan khasanahnya yang mewujud indah di suatu bentang kepulauan.
Di dalam festival ini Islam adalah kata sifat yang merangkul dan memuliakan siapa saja sebagaimana kepulauan Indonesia merangkul dan memuliakan apa dan siapa saja dengan keragaman hayati dan budayanya yang menakjubkan dan sangat spiritual. Festival ini juga dikerjakan oleh orang-orang biasa yang ingin melihat manusia sebagai manusia tanpa filter-filter simbolik: agama, kelas sosial, afiliasi politik dan preferensi seksual.
Warisan terbesar organisasi dari festival ini bukan sponsor-sponsor raksasa melainkan uluran tangan dan inisiatif dari pelbagai pihak yang masih percaya oleh kekuatan ide dan kesediaan menggerakan kehendak bebas mereka sepenuh-penuhnya untuk tujuan yang lebih besar dari pemenuhan dirinya sendiri seraya meletakkan nilai bekerja sama lebih bermakna daripada berkompetisi—gotong royong in a true sense of word.
Selama 20 hari melalui tiga tajuk acara utama yaitu pameran seni dan budaya, diskusi dan dialog serta pasar desa berisi pagelaran seni, musik dan bazaar makanan Indonesia, festival tersebut telah menyatukan warga Indonesia di Belanda dengan mereka para intelektual, seniman, agamawan, dan civil society yang ada di Indonesia bahkan dunia yang turut hadir sebagai relawan yang terlibat meramaikan tiga acara utama tersebut.
Melalui festival dan artikulasi kepulauannya kami ingin merasakan pengalaman menjadi muslim dan orang Indonesia sepenuh-penuhnya. Pengalaman yang diperam oleh interaksi yang bersifat material (warisan budaya, seni dan relasi alam) bukan hanya oleh slogan dan soundbite nasionalistik itu-itu saja atau imajinasi historis tentang Indonesia sebagai kumpulan orang-orang senasib di bawah kolong kolonialisme yang sama.
Menjadi muslim dan merasa bahwa dirinya adalah bagian utuh dari suatu bangsa di sebuah wilayah kepulauan seperti Indonesia tidak cukup ditentukan berdasarkan ide dan imajinasi yang dibangun orang-orangnya ¾sebagaimana mahaguru kajian nasionalisme Ben Anderson (2016) dengan gemilang menteoretisasikannya.
Studi human geography yang berkembang pesat belakangan ini di Eropa mengartikulasikan bahwa penciptaan suatu bangsa merupakan suatu proses material. Berisi rangkaian pengalaman yang spesifik dan unik yang membuatnya menjadi mahluk sosial (social being) di suatu wilayah geografi tertentu yang batas-batasnya juga mempunyai asal-usul materialnya sendiri.
Bangsa-bangsa terbentuk bukan sebagai komunitas-komunitas yang dibayangkan, melainkan sebagai komunitas-komunitas yang mengalaminya. Sejauh orang mempunyai gambaran tentang suatu bangsa dalam pikirannya, hal ini berasal dari pengalamannya terhadap realitas material, terlepas dari apapun gambaran yang berkembang di dalam pikirannya.
Festival Islam Kepulauan ingin merasakan pengalaman menjadi muslim dan bangsa Indonesia melalui suatu penghayatan material terhadap Islam di suatu lanskap kepulauan yang berisi tanah, air, keragaman hayati, budaya, artefak, sastra atau seperti sejarahwan maritim Adrian Bernard Lapian jelaskan bahwa membicarakan sejarah nusantara dan tanah air dengan sendirinya tidak terlepas dari aspek maritim Indonesia sebagai negara kepulauan.
Melalui gugusan kepulauan itu sarjana terkemuka Azyumardi Azra mengatakan betapa Islam adalah pengikat dan tak bisa dipisahkan dari tumbuh kembangnya peradaban laut dan kepulauan Indonesia. Mobilitas pelayaran, perdagangan dan pelabuhan membawa serta mobilitas manusia dari penjuru dunia termasuk para sufi kembara yang secara luas menjalankan dakwah Islam di nusantara.
Para sufi dan ajaran tasawuf yang dipromosikannya berhasil menyajikan Islam yang memancarkan pertautan damai antara Islam dan adat yang terus dijaga daripada disingkirkan. Peleburan tersebut menyiapkan lahan subur bagi masyarakat untuk menerima Islam kepulauan dengan corak yang inklusif dan damai hasil pergumulan kodrati antara alam, orang dan budayanya dan universalisme Tauhid yang dibawa oleh Islam.
Kepada sebuah negeri kepulauan dengan keragaman hayati salah satu yang tertinggi di dunia kita membutuhkan lensa interseksionalitas untuk merayakan keindonesiaan kita. Lensa yang mempertimbangkan kumpulan faktor (geografi, alam, etnik, kelas, gender) sebagai kombinasi yang saling terpaut dan berjalin kelindan, daripada mempertimbangkan setiap faktor secara terpisah dan berdiri sendiri.
Menggunakan pendekatan interseksionalitas itu pula Festival Islam Kepulauan ini telah menyatukan diaspora, pelajar, orang tua dan anak muda dari pelbagai latar belakang sosial dan agama untuk bahu-membahu tanpa pretensi apa-apa selain mewujudkan festival ini sebagai acara milik mereka sekaligus merefleksi asal-usul serta memori mereka sebagai orang kepulauan.