Wacana merayakan natal di Monas itu entah darimana datangnya. Meskipun Pergub baru mengizinkan Monas terbuka untuk menggelar acara pendidikan, sosial dan budaya melalui jalur Unit Perizinan Kawasan Monas, lalu ke dinas pariwisata, sebetulnya saya tidak yakin betul Persatuan Gereja Indonesia (PGI) atau elemen-elemen lain gereja beritikad memunculkan wacana itu.
Pertama, mari kita lupakan pandangan anti-212. Tapi, kita mesti sekaligus terbuka buat mengakui bahwa 212 punya banyak efek tak terduga. Banyak di antaranya adalah show of force berbagai ormas Islam gurem di luar tanggung jawab GNPF (sebagai yang paling bertanggung jawab pada 212). Ormas-ormas ini cukup meresahkan sebab provokasi dan ujaran kebenciannya bisa muncul kapan saja, dan mereka juga mengaku atau menumpang gerakan bela Islam/ulama.
Apakah GNPF kewalahan? Iya dong.
Di beberapa wawancara, GNPF tidak mengakui gurem-gurem ini sebagai bagian dari mereka. Mereka tidak punya mekanisme buat menghalau massa ini. (Seharusnya punya sih, kan kalau pas hitungan 7 jutaan, mereka ini juga turut dihitung dan dibanggakan).
Apakah Gubernur baru dan Wa-Gubernur baru kewalahan?
O jelas. Pemimpin yang terpilih secara elektoral, secanggih apa pun tidak akan bisa bekerja dengan tenang kalau tidak bergerak bersama rakyat. Sedangkan rakyat hari ini terlanjur terpolarisasi. Lebih-lebih, para pemimpin (yang sebetulnya saya yakin punya kapasitas kok), selalu dibayang-bayangi nama besar Gubernur sebelumnya.
Tapi apakah menunjukkan kepada publik bahwa, “Nih, Monas juga bisa lho dipakai buat Natal. Nih, Gubernur juga datang kok ke perayaan hari raya agama lain.”
Apakah itu efektif?
Sepertinya umat Kristen atau Katolik itu kalau beribadah senangnya yang syahdu-syahdu. Menunjukkan bahwa Pemerintah berkomitmen memperketat penjagaan Gereja pada malam perayaan natal, atau dalam bentuk lain yang lebih baik “memberikan perasaan aman” kepada umat Kristen dan Katolik pada malam Natal, sepertinya lebih diperlukan.
Tetap di gereja masing-masing, kok, tidak perlu simbolisasi di Monas juga. Caranya bagaimana?
Harus diakui memang tidak mudah dalam situasi ini. Caranya ya Pak Gubernur dan wakilnya menunjukkan komitmen kebhinekaan yang sejujurnya (ada beneran kan?).
Pak Gubernur dan wakilnya jangan lagi bikin pernyataan kontroversial hanya untuk menjilat ormas-ormas tertentu. Caranya, Gubernur memberi himbauan kepada masyarakat agar memperkuat toleransi, salah satunya juga termasuk mengendalikan ucapan yang menyakiti hati pemeluk agama lain, meskipun itu di media sosial.
Di hadapan elemen mana pun, sekarang Bapak berdua adalah pemimpin. Fiqih pemimpin itu memang rumit, tapi harus dilaksanakan berdasar prinsip kemasalahatan dan pencegahan mafsadat.
Seperti nggak akan uwis-uwis kalau show of force dihadapi dengan show of force. Tidak akan ada ujung kalau seruan takbir pongah ditandingkan lilin di malam natal, lalu diikuti oleh media yang menghitung taksiran jumlah jamaah dibandingkan dengan jumlah lilin yang menyala. Naluri penghambaan saya, ini justru akan sangat menyakiti Tuhan.
Semua pihak mesti diam sejenak dan berpikir betul langkah-langkah taktis jika mau kembali kepada “tenun kebangsaan” itu.
Toh, tak ada gunanya memberi izin perayaan jika di akar rumput yang terjadi adalah tetap saling cela.
Monas, oleh Soekarno dan Pak Fredrich Silaban, didesain berdasar lambang harmoni lingga-yoni, juga simbol perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bukan simbol “kelihatannya semua diberi ijin” padahal hanya adu kuasa.