Di era milenial saat ini, konstruksi masyarakat bukan hanya lahir dari lingkungan sendiri akan tetapi juga dibentuk melalui narasi atau wacana di media sosial. Saat ini, media sosial memiliki andil besar dalam membentuk pemahaman masyarakat terkait dengan berbagai masalah. Fenomena ini kemudian dikenal dengan istilah post-truth (pasca-kebenaran).
Pasca-kebenaran menjadi konsepsi populer yang merujuk pada pemisahan kebenaran dengan fakta yang objektif. Dalam realitas politik, menempatkan fakta-fakta objektif sebagai narasi tunggal kebenaran dianggap tidak relevan. Sebab, kebenaran tentang realitas tidak hanya ditemukan dalam realitas objektif melainkan juga bisa dilihat dari narasi atau wacana yang sedang berkembang.
Dalam konteks agama, kebenaran terkait isu-isu keagamaan biasanya didasarkan atas ajaran yang diberikan oleh gurunya. Pembelajaran di masjid, surau, pesantren, dan tempat-tempat lainnya merupakan media untuk mencari ilmu pengetahuan. Orang-orang akan belajar di tempat-tempat tersebut untuk mencari sebuah pemahaman terkait keagamaan.
Bahkan banyak di antaranya yang harus datang-datang jauh untuk sekedar belajar dengan seorang guru. Tradisi semacam ini dalam istilah Arab dikenal dengan rihlah. Contoh yang paling nyata adanya kesuksesan tradisi rihlah adalah para penulis hadist. Para ulama harus berjalan mengelilingi berbagai negara hanya untuk mengumpulkan beberap hadis.
Di satu sisi hal itu menjadi bukti adanya trasfer ilmu secara langsung karena pertemuan guru dan murid. Otoritas keilmuannya dalam konteks ini tertumpu pada sang guru. Murid harus menimba ilmu darinya. Di sisi lain, hal itu menunjukkan bahwa mencari ilmu itu tidak mudah seperti membalikkan tangan. Ujug-ujug orang akan mengetahui kebenaran dari sebuah agama atau masalah-masalah lainnya. Akan tetapi mencari ilmu tidak semudah itu. Seseorang harus berusaha, berkorban waktu dan tenaga untuk mencari ilmu.
Akan tetapi, tradisi semacam itu seakan-akan kabur ketika media saat ini mendominasi publik. Orang akan dengan mudah mencari pengetahuan tentang keagamaan hanya dengan mencari di google. Atau bahkan hanya dengan melihat ceramah-ceramah di youtube. Dari situ, dengan PD-nya, mereka seakan-akan tahu tentang masalah-masalah kegamaan.
Sepotong ayat al-Qur’an atau sepenggal hadis yang tertulis di media dijadikan rujukan paten untuk menilai sebuah kasus. Orang dengan mudah mengaksesnya hanya dengan membuka kanal-kanal media yang menyediakan penggalan ayat atau hadist tersebut. Kemudahan akses ini seakan-akan memudahkan orang untuk mencari ilmu. Padahal ketika kita melihat usaha ulama hadis dahulu, mencari ilmu harus melalui transfer secara langsung dari guru ke murid.
Banyak sekali media-media yang menyediakan hal-hal semacam itu. Bahkan orang-orang muslim yang awalnya sinis dengan media karena produk dari Barat juga ikut andil dalam menyebarkan paham keagamaanya di media. Dengan pendekatan tersendiri, mereka menarasikan ilmu keagamaan sesuai dengan ideologi mereka.
Bahkan tidak jarang orang-orang yang bukan ahli agama pun ikut membuat sebuah narasi tentang keagamaan. Dengan memanfaatkan media yang dimilikinya, seperti facebook, youtube, instagram, twitter, mereka dengan percaya diri menarasikan kebenaran agama menurut perspektifnya.
Maka dari itu, tidak heran jika kita temukan banyak orang yang membenarkan argumentasinya dengan hanya melihat kanal-kanal media. Dari situlah orang bisa saja menjustifikasi kebenarannya dengan media A atau media B, bahkan pertarungan persepsi tersebut tidak jarang yang kemudian menjadi pemicu adanya konflik.
Apabila media tersebut menyediakan konten yang berisikan tentang hal-hal yang justru memicu api permusuhan, maka hal itu akan memicu timbulnya konflik, dan apabila isi konten tersebut untuk memperkuat tali persaudaraan maka itu akan dijadikan sebuah kebenaran.
Pergeseran mencari kebenaran sebuah ilmu keagamaan dari online ke offline akan menjadi fenomena yang bertahan untuk tahun-tahun ke depan. Dalam hal ini jelas sudah bahwa akan timbul kesenjangan antara kebenaran realitas objektif dengan narasi yang dibangun oleh media. Kesenjangan ini terletak pada totalitas dalam mencari kebenaran dalam ilmu kegamaan yang bersumber dari guru dengan bertemu langsung dan dengan hanya menkonsumsinya melalui media. Wallahu a’lam
M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.