Fenomena Mengaji Hoaks di Media Sosial

Fenomena Mengaji Hoaks di Media Sosial

Keseringan bermedsos ria juga mengakibatkan yang dekat menjadi jauh dan yang jauh menjadi dekat. Hal ini memicu munculnya generasi wacana. Generasi yang hanya sibuk bermedsos dan berwacana.

Fenomena Mengaji Hoaks di Media Sosial

Media sosial merupakan hal yang hampir tak mungkin terpisah dari hidup kita. Dengan berbagai realitas hidup ia menjelma sebagai dunia kedua kita, bahkan tempat tinggal kita. Percaya atau tidak coba anda tak bergulat dengan medsos sehari pun, tentu akan merasa  aneh dan galau. Oleh karenanya tanpa kita sadari ia memengaruhi kehidupan kita. Alam bawah sadar kita merekam apa yang kita lihat, baca, dengar, rasakan. Hingga menjadi poin of view atau pandangan hidup.

Tak bisa disangkal bila media sosial membawa hal-hal dan nilai-nilai dalam kehidupan. Hal yang patut diwaspadai saat konten-konten yang berisi hoaks atau negatif marak. Mengingat pengguna media sosial tak hanya orang dewasa, melainkan remaja awal bahkan anak-anak. Sudah selayaknya orang dewasa menjadi panutan, mengajari dan mengawasi.

Menurut lembaga riset pasar e-Marketer, populasi netter tanah air mencapai 83,7 juta orang pada 2014. Prediksi pada tahun 2017 meningkat menjadi 112,6 juta. Dan tahun 2018 diprediksi naik lagi menjadi 123 juta. Sungguh angka yang fantastis bukan?

Keseringan bermedsos ria juga mengakibatkan yang dekat menjadi jauh dan yang jauh menjadi dekat. Hal ini memicu munculnya generasi wacana. Generasi yang hanya sibuk bermedsos dan berwacana. Mereka paham akan seluk beluk wacana dan isu-isu yang berkembang di medsos tapi mengabaikan realitas yang kompleks di kehidupan nyata.

Rhenald Kasali, seorang guru besar FEUI dan penulis mengatakan bahwa ia kasihan melihat anak-anak muda yang makin pintar tapi hidupnya galau. Generasi ini pada gilirannya  bermetamorfosa menjadi generasi wacana. Karena dulu selalu galau, setelah lulus ia hanya mampu berwacana. Ribut melulu, paling jauh cuma bisa bikin heboh di sosial media, membuat meme tapi tak berani bertindak, apalagi mengambil keputusan.

Namun, tidak semua yang berada di sosmed negatif. Banyak sekali yang dapat kita dapatkan melalu sosmed. Seperti menjalin silaturahmi, mencari relasi, berbisnis hingga menagaji atau belajar lewat internet. Ya, mengaji mengapa tidak. Akhir-akhir ini banyak institusi atau orang  yang memanfaatkan medsos untuk mengaji. Nutizen merupakan salah satunya. Tiap beberapa hari sekali ia menyiarkan secara langsung pengajian Gus Mus dan beberapa kiai lainnya. Atau pun yang sekarang menjamur di you tube, rekaman mengaji kiai-kiai dan ulama serta video inovatif lainnya.

Ngaji atau ngatur jiwo tak harus di tempat-tempat formal seperti di sekolah maupun pessntren pada umumnya. Kecanggihan teknologi yang telah mengaburkan sekat kehidupan membuat kita biasa mengaji atau belajar di mana-mana. Termasuk di medsos.

 

Hati-hati mengaji di Medsos

Mengaji lewat internet merupakan fenomena yang muncul baru-baru ini. Mengaji dalam artian mencari dan menambah ilmu tambahan. Berbekal ilmu dari dunia nyata, lalu mengadaptasikannya dengan yang kita dapat dari sosmed. Kebiasaan asal comot wacana di sosial media dikhawatirkan tidak valid konten dan sumbernya. Bisa saja itu hoaks.

Meskipun pemerintah telah mengesahkan UU ITE, tetap saja para pengguna medsos harus teliti. Patut kita waspadai fenomena hoaks yang sudah menjamur. Keberadaan hoaks sangat berbahaya, baik bagi individu orang, hingga bangsa dan negara. Coba kita kembali di tahun 2016 di Tanjung Balai, karena mencerna berita hoaks tanpa klarifikasi di medsos, orang tergerak untuk membakar kelenteng. Betapa mengerikannya fenomena ini.

Berikut beberapa langkah supaya terhindar dari hoaks. Yang pertama, meningkatkan budaya literasi di sosial media. Rajin mengklarifikaai dan verifikasi berita. Caranya dengan cek secara berulang konten serta sumber berita. Membaca dengan teliti konten berita apakah valid dan sumbernya kredibel. Karena banyak sekali berita yang bertaburan yang diperparah dengan banyaknya media di dunia maya.

Kedua, jangan sembarangan membagikan berita. Orang biasanya malas membaca dan melakukan cek berulang. Hanya dengan melihat judul berita, orang biasanya dengan gampangnya menyebarkan berita. Hal ini membuat parah peredaran hoaks. Sebab biasanya orang membaca hanya melihat judul berita yang menggiurkan tanpa membaca dengan cermat keseluruhan berita.

Oleh karenanya, hati-hati dengan jempol Anda. Karena bisa saja jempol Anda menentukan nasib orang lain.