Gaes, adakah tema paling ngehits di Indonesia yang arah pembicaraannya selain tema tentang agama? Sejauh penelusuran saya, sepanjang tahun 2016 lalu, mulai kasus nenek warteg yang dirazia saat bulan Ramadhan, minuman Equil yang dianggap miras, hingga peristiwa propaganda boikot perusahaan Sari Roti gara-gara menyatakan tidak terlibatnya dalam sebuah aksi—semuanya berbicara tentang agama. Bahkan, belakangan ini muncul sebuah spanduk yang berisikan pelarangan pemutaran wayang kulit yang dianggap bukan budaya dan ajaran umat Islam—itu juga dikaitkan dengan agama.
Agama, agama, dan agama. Pertanyaan fundamentalnya, mengapa tema agama selalu menjadi tranding topic di sosial media? Di satu sisi, saya bersyukur, bangsa Indonesia masih banyak yang beragama, sehingga perilaku dan akhlaknya dihiasi dengan kebaikan sebagaimana ajaran agama. Namun, di sisi lain, saya mulai khawatir jika segala hal kemudian selalu dibenturkan dengan dalih agama, membela agama dan mengatasnamakan agama. Apapun itu, asal berbau agama, dihalalkan, yang penting tujuan tercapai.
Maraknya berita hoax, foto hoax, dan informasi hoax dewasa ini adalah sebuah gejala betapa agama tidak lagi mengisi ruang-ruang digital tersebut. Hal itu justru bertentangan dengan spirit agama sendiri. Membawa kebenaran dan kebajikan
Bahkan, kita akan terkaget-kaget misalnya melihat fenomena almukarram sekelas profesor, doktor, atau kiai, namun gemar membagikan sebuah berita di grup Whatsapp yang tidak tahu menahu dari mana sumber berita-nya. Banyak anggota di grup yang bertanya-tanya, kok bisa ya, doi itu kan profesor? Apalagi ketika ditanyai, “apakah sudah diklarifikasi terkait berita yang anda share, pak?”, jawabnya singkat: “saya dapat dari grup sebelah.” Lalu, grup sebelah dari siapa?
Fenomena Grup Sebelah
Siapakah sosok gerangan yang bernama grup sebelah itu? Sampai sekarang saya masih bertanya-tanya. Ingin sowan kepada beliau namun tidak tahu alamatnya. Jika diberi kesempatan oleh Allah Swt bisa bertemu, saya ingin belajar banyak, bagaimana caranya agar bisa konsisten memproduksi sebuah konten khusus di media sosial. Entah itu pengumuman tentang beasiswa, info lowongan kerja, video yang mengharu biru, artikel atau meme muhasabah (lalu diminta klik share dan ucapkan amin), hingga konten-konten yang membakar semangat umat Islam agar menjadi seorang mujahid di Suriah dan Myanmar.
Nah, yang saya khawatirkan adalah yang terakhir. Grup sebelah ini mempunyai hobi membuat narasi kebencian dan framing yang dapat memecah belah umat. Yang konten-kontennya kebanyakan diwarnai dengan fitnah, umpatan, dan maki-makian.
“Hati-hati, bahaya laten.. Bla. Bla. Bla..
“Waspadai bangkitnya gerakan antek.. Bla. Bla. Bla..
“Ayo boikot produk x, jangan mau beli, karena mereka mendukung.. Bla.bla.bla..
“Umat Islam sedang ditindas, mari satukan kekuatan untuk hancurkan.. Bla. Bla. Bla..
“Ini adalah akibat dari sistem demokrasi, makanya muncul orang kafir yang Bla. Bla. Bla..
Maka wajar jika Ibnu Rusyd pernah mengatakan, “jika kau ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah segala sesuatu yang batil dengan kemasan agama”.
Mass pekok syndrom
Semuanya itu tidak lain atau tidak bukan akibat dari efek perubahan dunia global. Adanya gadget dan teknologi canggih yang menuntut seseorang seakan-akan tahu segala persoalan yang ada di dunia.
Sementara itu, kita berhadapan dengan fenomena orang yang malas membaca, dengan ditandai sebuah pernyataan “wah, tidak tahu info lengkapnya, saya dapat dari grup sebelah je”. “Waduh, gue juga bantu BC dari grup sebelah gan”. Hal ihwal itulah mengapa saya menyebut gejala ini dengan mass pekok syndrom. Sindrom pekok masal.
Semakin banyak yang dibagikan, semakin dianggapnya mengerti segalanya. Hanya sekadar baca judul, kiranya sesuai dengan emosi dan pandangan politiknya, langsung share. Bagi dan bagi dari grup sebelah. Syukur-syukur bisa viral.
Dan akhirnya, apa yang terjadi? Propaganda berhasil. Kegentingan tercipta. Seakan-akan terjadi sebuah chaos yang sangat besar di tengah naiknya harga cabai dan menurunnya harga gincu.
Sebab itu, saya menyarankan, bila hidup anda ingin tenang, silakan ‘keluar’dari grup Whatsapp yang tidak mutu dan cenderung mengajarkan kita untuk membenci sesama. Hingga sampai pada titik puncak kita tidak akan membaca lagi informasi atau berita yang bertuliskan, “maaf, hanya share dari grup sebelah.”
Wahai grup sebelah, janganlah kamu menghantui publik sosial media. Tahanlah jemarimu dalam hal ihwal membagikan segala sesuatu yang tidak kau ketahui. Karena Tuhanmu Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (HR. Non Muslim).
Tulisan ini murni pandangan pribadi, mohon maaf bila tidak copas dari grup sebelah. Wallahhu a’lam.
*Penulis adalah penghuni di akun twitter @autad
NB: Artikel ini hasil kerjasama islami.co dan