Belakangan ini publik dihebohkan dengan berita Hotel Alexis. Pada 27 Oktober 2017 Gubernur DKI Jakarta Anis Baswedan melalui Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta, Edy Junaedi, menolak memperpanjang izin Alexis. Gubernur yang baru dilantik pada pekan silam itu mengklaim, Hotel Alexis kerap melanggar aturan karena dijadikan sarang prostitusi. Namun demikian, tuduhan tersebut dibantah oleh Legal and Corporate Affair Alexis Group M. Fadjri.
Terlepas dari klaim ke dua belah pihak, kita tentu ikut prihatin dengan nasib pegawai Alexis yang dikabarkan sampai berjumlah 1000 orang. Memang, Tuhan sudah mengatur rezeki manusia. Namun tidak semua orang memiliki keyakinan yang kuat seperti itu, termasuk beberapa pegawai Alexis.
Jika Alexis terbukti melakukan pelanggaran dan resmi dilarang beroperasi, berarti ada 1000 pengangguran bertambah di saat Anis baru-baru saja menjabat sebagai gubernur.
Sementara itu, jika Alexis terbukti tidak melanggar, 1000 nasib pegawai Alexis pun akan terselamatkan. Tapi nyatanya, wartawan Tirto yang mengunjungi Alexis pada Jumat (06/10) mengabarkan dalam kolom Sosial Budaya dengan judul berita ‘Wajah “Surga Dunia” Lantai 7 Alexis Sesudah dan Sebelum Ditutup. Tirto mendatangi Alexis ketika layanan hotel dan segala fasilitas hiburan masih berjalan normal, bukan seperti yang dilakukan para jurnalis baru-baru ini yang mengklaim di sana tidak ada prostitusi. Kiranya wajar, jika masyarakat juga meyakini Hotel Alexis dijadikan tempat prostitusi terselebung.
Namun terkadang kita masyarakat muslim tidak adil dalam menyikapi para pekerja yang terkena dampak dari tidak beroperasinya Hotel Alexis.
“Seharunya orang Muslim yang bekerja di Alexis bersyukur, karena sudah tidak bekerja di tempat haram lagi,” mungkin itu yang terbesit di hati sebagian dari kita yang mendiskreditkan para pekerja di tempat haram itu.
Terkait bekerja di tempat haram, Syekh Ibrahim al-Bajuri, ulama yang pernah menjabat sebagai Syaikhul Azhar pada tahun 1847 M, pernah menyodorkan pendapat alternatif Abu Hanifah yang meringankan umat Muslim yang sudah terlanjur berprofesi di tempat-tempat haram. Maksud tempat haram di sini adalah tempat di mana seorang pegawai ikut serta dalam memproduksi atau membantu hal-hal yang diharamkan dalam Islam.
Misalnya, bekerja di tempat memproduksi minuman keras, tempat prostitusi, dan lain sebagainya.
Dalam sabda Nabi disebutkan, janganlah kalian minum di gelas yang terbuat dari emas dan perak, dan jangan juga makan di tempat yang terbuat dari keduanya. Logikanya, Nabi melarang kita minum dan makan di tempat yang terbuat dari emas dan perak, itu berarti secara tidak langsung Nabi pun melarang untuk memproduksi wadah yang terbuat dari keduanya. Karena itu, lahirlah kaidah ma haruma isti’maluhu haruma ittikhadzuhu, sesuatu yang haram digunakan, maka haram juga membuatnya.
Terkait pendapat alternatif Abu Hanifah, Syekh al-Azhar mencontohkan kasus orang yang bekerja sebagai pembuat emas dan perak. Dalam fikih, membuat wadah apapun yang terbuat dari emas dan perak itu haram menurut mayoritas ulama. Namun demikian, Abu Hanifah memperbolehkan orang membuat emas atau perak untuk dijadikan sebagai mata uang dirham atau dinar.
Menurut Imam Abu Hanifah, jika seseorang memproduksi atau menjual minuman keras untuk dijual ke non-Muslim itu diperbolehkan.
Adanya pendapat semacam ini seharusnya kita tidak perlu nyinyir terhadap mereka yang bekerja di tempat-tempat semacam Alexis, selagi mereka tidak meminum alkohol dan tidak melakukan prostitusi. Kalau hanya bekerja sebagai waiter biasa tentu diperbolehkan. Namun demikian, sebagai muslim yang taat, sebaiknya orang yang bekerja di tempat semacam Alexis itu mencari pekerjaan di tempat lain yang lebih menenangkan hati.
Mengenai para bekas pekerja Alexis, Sandiaga Uno sudah menghimbau mereka untuk mengikuti pengajian Syarikat Islam yang diketuai Hamdan Zoelva, seperti dikabarkan Tirto pada (31/10). Selain itu, Sandiaga juga akan melibatkan mereka dalam program gerakan Satu Kecamatan Satu Kewirausahaan (OK OCE), khususnya terkait usaha perhotelan. Namun sayang, program ini hanya khusus bagi mereka yang ber-KTP DKI.