Syekh Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili (w 1436 H) dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu mengatakan, bahwa seorang Mujtahid adalah seseorang yang telah memiliki kemampuan mengambil hukum langsung dari dalil-dalilnya.
Menariknya menurut beliau, untuk zaman sekarang sudah tidak ada seorang Mujtahid yang mampu melakukan hal tersebut, urusan memberi fatwa pada zaman sekarang hanya urusan menukil fatwa Mujtahid terdahulu, kemudian menjelaskannya kepada mustafti (orang yang meminta fatwa)
Inilah yang kemudian dikenal sebagai Mujtahid madzhab, yaitu seseorang yang mampu menghafal dan memahami aqwal para Mujtahid dalam madzhab tertentu, kemudian menukilkan dan menjelaskannya kepada mustafti.
Ini pendapat yang kuat dalam madzhab sementara ini lemah, yang ini rojih yang itu marjuh, hanya menghafal, memahami, menukil dan menjelaskan.
Sementara untuk melakukan tarjih itu sendiri, ada Mujtahid yang levelnya lebih tinggi, yaitu mereka yang dikatakan Mujtahid Tarjih, semisal imam Nawawi (w 676 H) dan imam Rofi’i (w 623 H).
Dalam kitab al-Majmu’ sendiri, imam Nawawi mengatakan, bahwasanya Mujtahid terbagi menjadi dua, yaitu Mujtahid mutlak mustaqil dan Mujtahid ghoiru mustaqil yang terdiri dari empat level.
Mujtahid mutlak mustaqil adalah apa yang dikatakan oleh syekh Wahbah, yaitu seseorang yang mampu mengambil hukum langsung dari dalil-dalilnya tanpa terikat dengan kaidah siapapun seperti para imam madzhab.
Sementara selain itu merupakan Mujtahid ghoiru mustaqil yang terdiri dari empat tingkatan.
Tingkatkan pertama adalah mereka yang yang sudah mampu langsung mengambil hukum dari dalil-dalilnya, hanya saja metode yang mereka gunakan bersesuaian dengan metode yang telah dipatenkan oleh imam madzhab, mereka tidak mampu membuat metode baru. maka kemudian dinisbatkanlah mereka sebagai bagian dari madzhab, seperti Abu Yusuf dan al-Muzani.
Tingkat kedua adalah mereka yang menggunakan ushul dan kaidah-kaidah imam madzhab ketika menggali hukum dalam masalah-masalah yang belum ada keterangan hukumnya dari imam madzhab. Dalam madzhab Syafi’i ini dikenal sebagai Ashab al-wujuh, seperti Ibnu Khuzaimah.
Tingkat ketiga adalah mereka yang mampu melakukan tarjih terhadap aqwal atau riwayat-riwayat dalam madzhab.
Imam Nawawi menjelaskan:
“Mereka tidak sampai pada derajat Ashab al-wujuh, tetapi mereka orang yang faqih, hafal benar tentang madzhab imamnya, mengetahui dan mampu menentukan dalil-dalilnya, mampu mendeskripsikan suatu masalah kemudian menjelaskan maksudnya, mereka juga mampu menerka dalil dalam suatu masalah kemudian melakukan tarjih.
Hanya saja mereka belum mampu menyamai tingkat Ashab al-wujuh dalam menghapal madzhab atau dalam kekuatan beristinbat, atau dalam pengetahuan tentang Ushul madzhab dan perangkat istinbat lainnya.”
Syekh Wahbah az-Zuhaili menyebutkan contoh Mufti tarjih ini seperti imam Nawawi dan imam Rofi’i.
Tingkat yang paling bawah adalah mereka yang disebut sebagai Mufti madzhab atau Mujtahid fatwa, mereka adalah ulama-ulama faqih yang berperan menghapal aqwal dan riwayat dalam madzhab, memahaminya, menukilnya dan kemudian menjelaskannya kepada umat, mereka menerangkan mana qoul rojih mana qoul marjuh, bukan mentarjih. Mereka juga menukil fatwa dalam madzhab kepada mustafti, bukan membuat fatwa langsung dari dalil-dalil syar’i.
Kita sebagai orang awam, ketika melihat perbedaan pendapat di kalangan ulama, maka kita boleh memilih untuk diri kita sendiri pendapat mana yang sekiranya paling kuat dan menentramkan hati.
Namun bukan ranah kita untuk menentukan pendapat mana yang terkuat kemudian memfatwakannya kepada umat. Kita harus berbenah diri, melihat siapa diri kita dan menyadari kapasitas diri sendiri.
Bila ditanya mana menurutmu yang paling kuat, maka jawabannya adalah apa yang dikatakan Mujtahid Tarjih dalam madzhab yang kita ikuti, agar di akhirat nanti, ketika kita diminta pertanggungjawaban, kita bisa menjawab, bahwa kita telah menyerahkan sesuatu kepada ahlinya. mudah-mudahan lebih selamat dan lebih menenangkan. Wallahu a’lam.