Musim dingin tengah menghampiri negeri Persia. Sebagian tanah negeri ini berubah menjadi putih yang menyilaukan mata. Sejak kedatangan di negeri para mullah ini, bukan Tehran yang membuat saya penasaran, melainkan negeri Khurasan yang sudah melegenda. Akhirnya, kesempatan untuk menyapa Khurasan datang di waktu yang tak terduga.
Salah satu kota legendaris di Khurasan adalah Nishapur. Kota ini telah banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam dari mulai ilmuwan, teolog, ahli hadis dan para sufi. Fariduddin Attar adalah salah satu sufi dari kota ini yang telah banyak menginspirasi para pencari hakikat hingga kini.
Jejak-jejak Attar masih dapat ditelusuri sampai sekarang. Makamnya satu komplek dengan peristirahatan terakhir Omar Khayyam di Nishapur. Letaknya berada di sebuah taman yang sangat indah. Tepat di tengah taman berdiri sebuah bangunan dengan kubah biru langit khas Persia yang dihiasi dengan kaligrafi dan mozaik yang mengagumkan.
Nama lengkapnya adalah Fariduddin Muhammad bin Ibrahim Attar. Ia hidup pada abad 12 M, tepatnya tahun 1145-1220 di Nishapur. Ia sendiri meninggal karena serangan pasukan Mongol yang sedang dalam perjalanan menaklukan Baghdad. Sebelum menjadi seorang sufi, ia merupakan penjual minyak wangi di kotanya, sehingga dijuluki Attar, si penebar wangi.
Kisah hidupnya berubah setelah seorang fakir miskin menghampiri tokonya. Attar mengusir orang tersebut karena menganggapnya pengemis. Mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari pemilik toko, ia berkata, “Jangankan untuk meninggalkan tokomu, meninggalkan dunia saja tidak sulit bagiku, tetapi bagimu, apakah kamu sanggup meninggalkan kemewahan yang telah kau raih?” Jawaban tersebut benar-benar menembus relung hatinya yang paling dalam. Kemudian, ia memulai perjalanan untuk mencari hakikat hidup.
Setelah merasa cukup, Attar kembali ke Nishapur untuk memberikan pencerahan kepada orang-orang yang membutuhkan. Oleh karenanya, ia menulis beberapa buku yang memuat mutiara-mutiara hikmahnya. Di antaranya adalah Tadzkiratul Awliya, Ilah Nameh, Asrar Nameh, Musibat Nameh, dan Mantiqut Thair.
Mantiqut Thair adalah bukunya yang paling fenomenal. Buku ini berkisah tentang sebuah konferensi para burung dari seluruh dunia. Pemimpinnya adalah burung Hudhud yang sudah mendapatkan kemuliaan berkat hubungannya dengan Nabi Sulaiman. Hudhud bercerita bahwa raja burung sebenarnya adalah burung yang bernama Simurg yang tinggal di balik gunung-gunung yang mempunyai 7 lembah. Ia bisa dekat dan bisa jauh dan tugas para burung adalah menemuinya.
Tentu dalam perjalanan menemui Simurg sang penguasa, burung-burung akan mengalami cobaan yang berat. Mereka mungkin capek atau bahkan dimangsa binatang lain dan akhirnya mati di tengah jalan, dan memang benar, dari semua burung, yang berhasil mencapai lembah ketujuh hanya berjumlah tiga puluh burung.
Melalui kisah tersebut, Attar sebetulnya sedang mengajarkan manusia bahwa untuk dapat sampai kepada Tuhan, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui. Langkah-langkah yang ditawarkan Attar diilustrasikan dengan tujuh lembah. Lembah-lembah tersebut adalah lembah pencarian, cinta, keinsyafan, kebebasan, keesaan, keheranan, dan lembah ketiadaan.
Perjalanan yang dimulai dari pencarian akan diakhiri dengan ketiadaan. Pada lembah terakhir ini pencari Tuhan akan menemukan hakikat dirinya secara utuh. Kesadaran terhadap hakikat diri justru meleburkan eksistensinya. Yang ada hanyalah Tuhan semata. Sang pencari akan pasrah kepada Tuhan dan melepaskan semua atribut yang menempel dalam diri di hadapan-Nya.
Mungkin sebagian kita tak menyadari bahwa kata “Simurg” raja yang dituju, dalam bahasa Persia bermakna tiga puluh burung. Ini sesuai dengan jumlah burung yang berhasil sampai di lembah ketujuh. Attar membuat perumpaan yang sangat indah. Itu artinya, Simurg sesungguhnya dapat ditemukan di dalam diri masing-masing. Ini sesuai dengan petunjuk awal yang menyatakan bahwa Simurg bisa dekat atau jauh tergantung sejauh mana kita mengenal diri.
Perjalanan menuju Simurg adalah sebuah perjalanan ruhani dalam diri. Untuk dapat sampai kepadanya, manusia harus dapat menaklukan ego dan hawa nafsunya, lalu diganti dengan keikhlasan dan ketundukan kepada sang Pencipta. Jika hatinya sudah diliputi sifat tersebut, maka sesungguhnya ia sudah sampai kepada Simurg.
Metafora pencarian Simurg yang dikisahkan Attar merupakan konsep insan kamil. Konsep ini meniscayakan adanya ma’rifat al-nafs atau pengenalan terhadap diri karena sesungguhnya nilai kesempurnaan manusia terletak pada dirinya sendiri. Jika kita memahami diri, kita dapat mencapai kesempurnaan ruhani.
Socrates juga mensyaratkan pengetahuan terhadap diri untuk mengenal sang Pencipta. Begitu pula para nabi yang menyatakan hal yang sama. Bahkan, catatan tentang itu dapat ditemukan dalam riwayat nabi Muhammad yang bersabda, “Siapa yang mengenal dirinya, niscaya ia akan mengenal Tuhannya.” Hadis tersebut mempunyai makna yang sangat dalam. Oleh karena itu, para sufi berusaha untuk membuktikannya melalui perjalanan ruhani.
Implikasi dari paham ini adalah manusia akan melakukan otokritik. Artinya, ia akan fokus untuk mengevaluasi diri sebelum menilai orang lain. Sikap inilah yang sudah mulai hilang di era digital ini. Keterbukaan informasi membuat orang lupa menilai diri. Kita lebih tertarik untuk mencitrakan diri sebagai orang yang sempurna. Padahal, secara rohani justru kita merasakan kehampaan yang luar biasa.
Para sufi justru mempraktikkan hal sebaliknya. Mereka tidak membangun citra diri untuk manusia, melainkan fokus dalam pembenahan diri untuk tampil sempurna di hadapan Tuhan. Mereka tidak peduli lagi dengan penilaian manusia karena sejatinya itu hanya fatamorgana.
Wallahu a’lam.