Sejak awal kehadiran sufisme dalam sejarah peradaban umat Islam, kaum perempuan telah memainkan peranan yang penting dalam perkembangannya. Berbagai naskah sejarah, praktik dan pemikiran sufisme dari masa awal menggambarkan berbagai kontribusi kaum perempuan dalam dunia tasawuf. Akan tetapi, jumlah sufi perempuan yang dicatat dalam naskah-naskah tersebut lebih kecil dibanding dengan jumlah sufi laki-laki. Padahal jika ditela’ah lebih mendalam dalam literatur-literatur tasawuf, maka akan dijumpai para sosok perempuan suci yang hidup dengan para sufi besar dari kaum laki-laki.
Dalam karya Jalaludin Rumi, yaitu Matsnawi disebutkan bahwa pada masa hidup Jalaludin Rumi di Konya, hidup sosok perempuan sufi yang dijuluki dengan julukan Fakhrun Nisa (Kegemilangan Kaum Perempuan). Perempuan yang mendapat julukan tersebut adalah sosok perempuan yang hidup pada masa Jalaludin Rumi dan dikenal sebagai perempuan suci. Perempuan sufi tersebut selalu menghadiri ceramah-cerama Jalaludin Rumi, begitu juga Rumi sering mengunjungi perempuan suci tersebut.
Bahkan suatu ketika, teman-teman Fakhrun Nisa menyarankannya untuk pergi haji ke Mekkah, tetapi sang perempuan suci tersebut tidak setuju dengan saran mereka, karena ingin berkonsultasi dulu dengan Jalaludin Rumi. Setelah itu, ketika sampai di tempat Rumi dan belum mengucapkan sepatah kata pun, Jalaludin Rumi berseru kepadanya, “O, pemilik hati yang indah. Semoga perjalanan mendatangkan keberkahan bagimu di dunia dan ahirat. Jika Allah SWT mengizinkan, kita akan berada di Mekkah bersama-sama.”
Mendengar ucapan Jalaludin Rumi, Fakhrun Nisa mengucapkan salam kemudian langsung pulang tanpa berkomentar apa-apa. Kejadian tersebut juga disaksikan para murid Jalaludin Rumi.
Malamnya, Fakhrun Nisa kembali lagi ke rumah Rumi untuk melaksanakan dzikir bersama sampai tengah malam. Di pertengahan malam, Rumi naik ke loteng rumahnya dan berdzikir. Setelah selesai, Rumi kemudian berseru ke bawah, tepatnya ke ruangan Fakhrun Nisa. Jalaludin Rumi kemudian memanggilnya untuk naik ke atas.
Setelah sampai di atas, Fakhrun Nisa diminta oleh Rumi untuk melihat ke angkasa dan mengatakan bahwa keinginannya akan segera terkabul. Saat menatap ke atas, perempuan suci ini melihat Hajar Aswad melayang-layang di udara. Batu hitam suci tersebut melayang-layang, mengelilingi kepala Jalaludin Rumi, berputar-putar seperti darwis yang menari.
Pemandangan tersebut begitu nyata, sehingga tidak ada celah bagi Fakhrun Nisa untuk merasa ragu. Pemandangan tersebut kemudian membuat Fakhrun Nisa mengalami ekstase dengan menyebut-nyebut nama Allah SWT, walaupun hanya sekejap. Pengalaman mistis yang dialami oleh Fakhrun Nisa tersebut kemudian membuat niatnya pergi ke Mekkah menjadi batal. Sebab ia merasa telah melaksanakan ibadah haji, Fakhrun Nisa merasa bahwa Rumi adalah Mekkahnya, sehingga tidak perlu lagi untuk berangkat haji ke Mekkah.
Fakhrun Nisa yang digambarkan dalam karya Jalaludin Rumi tersebut adalah julukan bagi sosok perempuan suci yang selalu mengikuti ceramah-ceramah dan majlis dzikirnya. Sosok perempuan yang mempunyai kedekatan dengan Tuhan dan juga sufi besar.
Sebagaimana karya-karya tasawuf lainnya, perempuan-perempuan sufi yang pernah ada dalam kehidupan para tokoh sufi besar hanya dijelaskan sekilas, bahkan bisa dikatakan sebagai pelengkap kisah spiritual. Akan tetapi, dengan penyebutan yang sekilas tersebut, membuktikan bahwa kaum perempuan sejak dulu selalu hadir dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, termasuk dunia spiritual dan tasawuf sekalipun. (AN)