Bagaimana Soeharto mengaburkan sejarah 1965, sampai sekarang orang masih amat benci pada PKI? Bagaimana Soeharto memainkan relasi kuasanya, hingga betapapun naiknya dia sebagai presiden di masa lalu penuh gelimang darah, orang-orang cenderung lupa? Salah satunya adalah dengan EYD.
Jawaban tersebut Anda temukan dalam buku yang bertajuk Maksud Politik Jahat: Benedict Anderson tentang Bahasa dan Kuasa. Isi dari buku ini sebenarnya cukup luas dan mengulas berbagai persoalan yang berkaitan dengan pemikiran Benedict Anderson tentang Bahasa, mulai dari kisah hidupnya, amatan tentang nasionalisme dan bahasa, hingga soal politik terjemahan.
Sebagaimana termaktub jelas dalam judulnya, buku ini membongkar maksud-maksud jahat yang terselubung rapi dalam relasi kuasa bahasa yang dimainkan oleh orde baru. Dalam salah satu esai buku ini, Joss Wibisono, mendedah tentang politik penghapusan sejarah yang dibungkus rapi lewat “kebijakan” mengganti ejaan Suwandi menjadi Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) pada tahun 1972-1973. Dengan mengganti ejaan Suwandi ke EYD, Orde Baru secara gemilang telah berhasil membuat generasi pasca 1972 mengalami amnesia sejarah 1965.
Betapa tidak? Sejak EYD diberlakukan, rezim Soeharto dapat dengan mudah menciptakan suar pengawas wacana publik. Dengan diberlakukannya EYD, Orde Baru berhasil menciptakan garis pemisah yang tegas antara produk-produk ejaan Suwandi dengan EYD. Orde Baru pun dengan sangat mudah melakukan pendisiplinan publik. Mereka yang terlihat masih mencari, membaca, atau mengoleksi buku-buku ejaan Suwandi akan dengan mudah diketahui lalu dicurigai. Sumber-sumber bacaan dari ejaan Suwandi perlahan menjadi bacaan yang langka dan tak lagi diminati. Itulah yang benar-benar terjadi hingga saat ini.
Selintas memang perubahan itu tampak biasa saja. Saya sendiri juga awalnya merasa begitu, karena saya adalah generasi EYD. Tapi, setelah membaca ulasan lebih jauh dari Joss Wibisono dalam buku ini, keasadaran saya pun terhentak. Ketika sumber-sumber bacaan dari ejaan Suwandi itu hilang, maka dominasi sumber-sumber sejarah hanya akan berasal dari era Orde Baru saja. Seturut dengan itu, maka publik pun akan mengikuti pola pikir dan gagasan sejarah Orde Baru yang kejam dan sewenang-wenang.
Dengan mengikuti pola pikir dan alur sejarah Orde Baru, generasi EYD pada gilirannya akan dibuat lupa pada kekejaman-kekejaman Orde Baru. Padahal, ketika generasi EYD dapat melek sejarah atau dapat mengakses sumber-sumber bacaan ejaan Suwandi, mereka akan segera menyadari betapa kejamnya perlakuan Orde Baru pada Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam sejarah 1965. Perlakukan Orde Baru terhadap PKI itu jauh lebih parah dari penjajah Belanda pada tahun 1926, ketika waktu itu PKI benar-benar memberontak.
Kalau penjajah Belanda paling banter membuang para pemberontak komunis itu ke Boven Digoel, maka yang dilakukan Orde Baru bukan Hanna sekedar pembuangan. Tak sekedar membuang tahanan politik PKI ke pulau Buru, Orde Baru juga melakukan pembunuhan bersekala besar terhadap mereka. “Salah satu algodjo orde baru bahkan berani sesumbar dengan mengatakan, “djumlah orang komunis jang diganjang habis mentjapai tiga djuta orang, separuh korban fasisme Djerman.” (hlm. 31)
Praktik kekejaman Orde Baru yang luar biasa itu, pada gilirannya ikut lenyap dilupakan bersamaan dengan berlakunya EYD. Itu artinya, proyek pelupaan sejarah yang terselip dalam kebijakan pemberlakukan EYD oleh Orde Baru itu sukses. Faktanya saat ini publik masih banyak yang menaruh simpati atau minimal rindu terhadap rezim kejam itu (fenomena “Piye kabare? Enak jamanku”) dan amat benci terhadap PKI yang selalu dianggap sebagai kambing hitam sejarah 1965 oleh rezim Orde Baru.
Strategi kuasa bahasa yang dilakukan oleh Orde Baru itu sebenarnya hanya meniru cara penjajah Belanda. Pada tahun 1901 penjajah Belanda pernah melakukan penghapusan sejarah dengan cara yang serupa. Kala itu, penjajah Belanda, dengan bantuan Balai Poestaka (Kantoot voor Volkslectuur), memberlakukan ejaan Van Ophuysen sebagai ganti atas bahasa Melajoe rendah. Bahasa Melajoe rendah yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia itu telah menjadi bahasa publik di Indonesia bahkan telah menjadi bahasa cetak sejak dekade 1880-an. Kalangan Tionghoa dan kalangan kiri radikal (penyuara antikolonialisme) kerap memanfaatkan bahasa Melajoe rendah ini untuk menuangkan gagasan mereka dalam bahasa cetak, ketika banyak orang Indonesia masih sibuk berkomunikasi dalam bahasa daerah masing-masing.
Namun, penjajah Belanda yang khawatir atas perkembangan bahasa tersebut kemudian berusaha memberangusnya dengan memperkenalkan ejaan Van Ophuysen. Di bawah pengawasan ketat Balai Poestaka, penduduk Indonesia dipaksa untuk memakai ejaan Van Ophuysen dan meninggalkan bahasa Melajoe rendah. Hasilnya, karya kalangan Tionghoa dan kiri radikal tak lagi dibaca khalayak umum. Peran mereka sebagai perintis bahasa serta keterlibatan mereka dalam menggelorakan spirit antikolonialisme akhirnya dilupakan begitu saja. (hlm. 19)
Tindakan penjajah Belanda memberlakukan ejaan Van Ophuysen itu pada prinsipnya senafas dengan tindakan Orde Baru memberlakukan EYD. Keduanya sama-sama hendak menghapus jejak-jejak peran kalangan kiri progresif dalam membangun bangsa. Keduanya sama-sama memanfaatkan bahasa untuk maksud jahat melanggengkan kuasa. (AN)
Judul : Maksud Politik Jahat: Benedict Anderson tentang Bahasa dan Kuasa
Penulis : Joss Wibisono
Penerbit : Tanda Baca
Cetakan : Maret 2020
Tebal : xiv + 142 hlm