Etika Memberikan Hidangan Kepada Tamu dalam Islam

Etika Memberikan Hidangan Kepada Tamu dalam Islam

Islam mengatur tata cara dan etika memberikan hidangan kepada tamu. Setidaknya ada enam etika untuk menjamu tamu.

Etika Memberikan Hidangan Kepada Tamu dalam Islam
Ilustrasi perempuan menyiapkan makanan (Freepik)

Islam tidak hanya mengatur soal ibadah manusia kepada Tuhan, tetapi juga perihal bersosial kepada sesama manusia, seperti etika memberikan hidangan kepada tamu. Tak disangka, ternyata hal ini termasuk urusan yang sangat diatur dalam Islam. Hal ini–sekali lagi–bukan sebuah kekangan sebagaimana yang diyakini beberapa orang, melainkan agar esensi manusia sebagai khalifah benar-benar tercapai, tentu dengan misi bermoral etis, “mutammiman limakarim al-Akhlak” (menyempurnakan akhlak yang mulia).

Dalam kitab Mukhtasar Minhaj al-Abidin, karangan Imam Ahmad bin Muhammad bin Abdurrahman bin Qudamah al-Makdisi, menjelaskan beberapa etika memberikan hidangan kepada tamu. Etika ini mengatur soal-soal teknis memberikan jamuan kepada tamu, dan hidangan apa yang sunah disuguhkan pertama kali kepada tamu yang baru datang.

Baca juga: Bolehkah Istri Menerima Tamu Lelaki Saat Suami Tak Di Rumah?

Menurutnya, etika menyuguhkan hidangan kepada tamu harus memenuhi lima etika berikut; menyegerakan, mendahulukan buah-buahan, menyuguhkan aneka makanan yang dimiliki, membiarkan makanan tetap di meja makan (sampai tamu benar-benar menikmati), menyuguhkan makanan sesuai kebutuhanya saja. Lima etika ini tidak semuanya penulis akan jelaskan. Hanya sebagian yang mungkin sangat penting diketahui banyak orang.

Pertama, tentang menyegerakan. Jadi apabila ada tamu yang bertandang ke rumah kita, maka kewajiban tuan rumah adalah menyegerakan untuk memberikan suguhan. Artinya, jangan biarkan tamu terdiam lama dan tak sedikit pun ada hidangan.

Setidaknya, mulailah dari minuman-minuman ala kadarnya seperti teh, kopi, air putih, dan sebagainya, baru setelah itu hidangan lainnya. Sebab menunggu terlalu lama benar-benar tidak baik. Oleh karena itulah, segerakan hidangan yang ada-ada saja, perkenankan tamu menikmati sebebasnya.

Kedua, mendahulukan buah-buahan. Tamu adalah raja, begitulah suatu pepatah. Ternyata benar, meski kita tidak pernah merasa, tamu pada dasarnya adalah orang yang harus–atau berhak–dihormati. Termasuk bagian dari menghormati adalah memberikan hidangan yang menyenangkan. Dalam hidangan, aturannya adalah mendahulukan buah-buahan sebelum hidangan lainnya.

Ketiga, membiarkan makanan tetap berada di meja makan. Ini sering terjadi khususnya di perkotaan, bahwa saat makanan usai, biasanya tuan rumah langsung mengambilnya. Entahlah apa maksud di balik itu, tapi yang jelas, budaya ini menurut etikanya sangat tidak bisa dibenarkan. Yang benar, biarkan sisa makanan itu berada di depan tamu, dengan bertujuan, si tamu tersebut masih bisa menikmati hidangan di sela-sela waktu. Yang lebih penting dari itu, dahulukanlah orang lain sebelum tuan rumah. Mintalah tamu untuk mengambil hidangannya, bukan tuan rumah yang malah melahapnya lebih awal.

Baca juga: Memahami Keragaman Islam dari Sudut Pandang Budaya Kuliner

Keempat, menyuguhkan makanan sesuai kebutuhannya saja. Maksudnya, tuan rumah dalam hal ini harus benar-benar paham, paham situasi tamu, atau mungkin juga porsi dari masing-masing. Artinya, jika tamu hanya lima orang, tuan rumah harus menyiapkan hidangannya untuk lima orang tapi, tidak lebih. Jika makanan yang ada dan disiapkan, ternyata lebih dari batas ukuran tamu, lebih baik disedekahkan kepada orang-orang sekitar.

Terkait aneka ragam jenis makanannya, maka dianjurkan menyuguhkan beragam makanan untuk tamu. Sebab semakin banyak suguhan, maka semakin banyak pilihan, bukan? (AN)

Wallahu A’lam