Menjalankan syariat Islam dengan baik dan benar dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah maka niscaya seorang Muslim akan menjadi manusia yang mulia di mata Allah dan juga manusia lainnya. Terkait pembahasan orang mulia, Hadratuhssyaikh Hasyim Asy’ari menjelaskan dalam kitab Adab Al Alim wa Al Muta’allim sebagai berikut:
أربعة لا يأنف الشريف وإن كان أميرا: قيامه من مجلسه لأبيه وخذمته لعالم يتعلم منه والسؤال عما لا يعلم وخذمته لضيفه
Orang mulia tidak meremehkan empat hal ini, meskipun ia menjadi seorang pemimpin: berdiri dari tempat duduknya karena kedatangan sang ayah, melayani orang alim yang mengajarkan ilmu kepadanya, bertanya ketika ia tidak mengetahui dan melayani tamunya.
Beliau mengungkapkan bahwa orang mulia itu tetap rendah hati dan menghargai seseorang yang dihormatinya. Misal ketika ada guru atau ayahanda yang datang, dengan rendah hati ia berdiri dalam rangka menghormati kedatangannya. Bisa dilihat ketika presiden datang ke sebuah ruangan, secara tidak langsung mereka yang sedang berada di situ akan berdiri seraya menyalaminya.
Selanjutnya beliau menyebutkan bahwa orang mulia itu melayani seseorang yang telah mengajarkan sebuah ilmu kepadanya. Layaknya seorang murid yang mengatakan “sami’na wa atha’na” terhadap titah sang guru. Begitupun dengan seseorang yang telah mengajarkan sebuah ilmu, ia akan menghormati dan melayani dengan baik.
Dan yang terakhir adalah melayani tamunya. Hal inilah yang juga diserukan Rasulullah terhadap umat-Nya yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Dalam sabdanya disebutkan:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.”