Salah satu rukun iman yang wajib diyakini oleh setiap muslim adalah iman kepada hari akhir, sedangkan hisab adalah salah satu hal yang akan dilewati oleh setiap manusia pada hari akhir nanti. Oleh karenanya, hakikat dari beriman kepada hari akhir dapat dikatakan dengan beriman kepada hisab yaitu meyakini tentang adanya perhitungan segala amal perbuatan manusia yang dilakukan selama hidupnya.
Secara bahasa, kata hisab berasal dari kata حسب – يحسب – حِسابا – حُسبانا (hasiba-yahsabu-hisaban-husbanan) yang berarti hitungan, sangkaan, dan cukup. Adapun secara istilah, kata hisab menurut Ibnu Taimiyah adalah perhitungan antara amal kebaikan dan amal keburukan yang di dalamnya terkandung pengertian pemaparan dan pemberitahuan amalan terhadap pelakunya.
Dalam Al-Qur’an, kata hisab disebutkan sebanyak 59 kali dengan bentuk yang beragam. Hal ini menunjukkan bahwa kata hisab merupakan kata yang cukup penting. Berikut empat makna hisab dalam Al-Qur’an:
Pertama, hisab bermakna perhitungan. Sebagaimana firman-Nya:
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ (25) وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ (26
Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui bagaimana perhitunganku. (Q.S al-Haqqah: 25-26).
Perhitungan yang dimaksud adalah kalkulasi atas amal perbuatan manusia selama hidupnya. Pada hari akhir kelak, manusia akan menerima buku catatan atas amal perbuatannya. Bagi yang mendapatkan buku catatan dari sisi kanan maka ia akan selamat dan bagi yang mendapatkan buku catatan dari sisi kiri maka ia akan celaka.
Selain itu, Nabi Ibrahim telah meyakini tentang adanya perhitungan amal di hari akhir nanti, sebagaimana doanya :
رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat). (Q.S Ibrahim: 41).
Kedua, hisab bermakna banyak dan tidak terhitung. Sebagaimana firman-Nya:
زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَيَسْخَرُونَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ اتَّقَوْا فَوْقَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (Q.S al-Baqarah: 212).
Menurut ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitabnya, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an menjelaskan bahwa makna hisab pada ayat tersebut ketika berada dalam susunan kalimat pemberian rizki adalah pemberian yang melebihi hak semestinya, pemberian yang tidak akan diambil lagi, pemberian yang manusia tidak akan mampu menghitungnya, dan pemberian tanpa perlu bersusah-payah. Mereka yang berhak atas pemberian ini adalah orang-orang mukmin dan beramal baik.
Ketiga, hisab bermakna cukup. Sebagaimana firman-Nya:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نُهُوا عَنِ النَّجْوَى ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَيَتَنَاجَوْنَ بِالْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَمَعْصِيَتِ الرَّسُولِ وَإِذَا جَاءُوكَ حَيَّوْكَ بِمَا لَمْ يُحَيِّكَ بِهِ اللَّهُ وَيَقُولُونَ فِي أَنْفُسِهِمْ لَوْلَا يُعَذِّبُنَا اللَّهُ بِمَا نَقُولُ حَسْبُهُمْ جَهَنَّمُ يَصْلَوْنَهَا فَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Apakah tidak kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia, kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan itu dan mereka mengadakan pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Dan apabila mereka datang kepadamu, mereka mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan sebagai yang ditentukan Allah untukmu. Dan mereka mengatakan kepada diri mereka sendiri: “Mengapa Allah tidak menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu?” Cukuplah bagi mereka Jahannam yang akan mereka masuki. Dan neraka itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S al-Mujadilah: 8).
Neraka Jahannam sebagai kecukupan adalah suatu pemenuhan “kebutuhan” yang diberikan oleh Allah SWT kepada mereka. Dalam konteks ini, neraka diibaratkan sebagai kebutuhan bagi mereka. Maksudnya, sebagai kebutuhan bagi mereka yang ingkar kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Akan tetapi, kecukupan dalam ayat yang lain adalah kecukupan akan kebutuhan hal pokok bagi mereka yang beriman dan hanya membutuhkan Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya:
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Q.S Ali Imran: 173).
Keempat, hisab bermakna Azab. Sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Jika seseorang mendustakan bukti-bukti/tanda-tanda yang ditegakkan Allah sebagai pelajaran bagi orang yang berakal dan sebagai dalil bagi orang yang mencari tabir, maka Allah akan menghilangkan amal perilaku yang dikerjakan selama hidup kemudian membalas sikap dustanya di akhirat kelak dengan perhitungan yang cepat. (Q.S Ali Imran: 19).
Perhitungan yang dimaksud adalah sebagai perhitungan bagi orang-orang yang tidak beriman, melanggar aturan Allah SWT, maka mereka akan mendapatkan azab sebagai hukuman.
Pada akhirnya, jika dilihat dari konteks ayatnya maka akan terlihat bahwa hisab tidak hanya bermakna perhitungan. Terkadang hisab dapat bermakna sesuatu yang banyak, terkadang dapat bermakna cukup, bahkan dapat juga bermakna azab.
Wallahu A’lam.