Selama jiwa masih terikat raga, maka anggota tubuh berfungsi sebagai bejana yang menampung tumpahan anugerah rohaniah. Untuk itulah di dalam Islam, diatur berbagai macam disiplin lahir menuju kejernihan batin.
Namun seiring zaman, tak sedikit di antara umat Islam yang mencoba menafikan salah satu dari aspek lahir dan batin. Di satu sisi, ada yang mengampanyekan spiritualisme dengan pendekatan rasional, sehingga menyepelekan aspek lahir. Di sisi lain, adapula yang mengagung-agungkan aspek lahir sehingga justru memosisikan komponen-komponen lahiriah itu sebagai tujuan. Bukan lagi Tuhan sebagai muaranya, aspek batin terlupakan.
Padahal di dalam khazanah keilmuan Islam ada istilah;
“Al-haqiiqotu bilaa syarii’atin baathilatun was syarii’atu bilaa haqiiqotin ‘aathilatun (hakikat tanpa syariat adalah salah dan sareat tanpa hakekat adalah percuma).”
Ada orang berkata bahwa tidak ada gunanya shalat, toh keselamatan dan kesengsaraan, masuk surga atau neraka, sudah tertulis sejak jaman azali. Orang yang tidak shalat jika tertakdir surga ya tetap masuk surga. Orang yang shalat jika tertakdir neraka ya tetap masuk neraka. Ini contoh hakikat tanpa syari’at.
Sedangkan syari’at tanpa hakikat misalnya ketika ada orang yang beribadah karena mengharapkan surga, kemudian berkata bahwa jika bukan karena amalnya itu tidak mungkin ia bisa masuk surga. Inilah syari’at yang ‘aathilah (percuma), karena ada atau tidak adanya sama saja. Padahal masuk surga itu sebab fadhal (keutamaan, anugerah) dari Allah semata.
Lalu, apa syari’at dan hakikat itu?
Syari’at adalah segala perintah dan larangan dari Allah, yang kemudian identik dengan aturan main hidup manusia. Bersyahadat, melakukan sholat, puasa, zakat, haji, berbuat baik kepada tetangga, menyantuni fakir miskin, birrul walidayn, menjauhi zina, menutup aurat, tidak korupsi, semua itu adalah pengamalan tataran syari’at.
Sedangkan hakikat adalah kesadaran tentang esensi amal dan perbuatan. Bahwa melakukan ibadah dan meninggalkan maksiat adalah dari Allah. Bahwa tidak ada daya maupun kekuatan untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan selain dari Allah semata.
Laa Haula walaa Quwwata illaa Billaahi al-‘Aliyyi al-‘Adziim.
Dengan pemaknaan ini, maka kedua hal tersebut harus disejajarkan, diiringkan, bahkan disatukan dalam pengamalannya. Harus ada keseimbangan antara syari’at dan hakikat, ekuilibrium. Keseimbangan ini telah Allah simbolkan secara sempurna di dalam Surah al-Fatihah;
“Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iinu (hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan)”
Iyyaaka Na’budu menyiratkan suatu aktivitas syari’at, karena mangandung makna perbuatan hamba yang diupayakan, berupa penyembahan kepada-Nya di dalam setiap sisi kehidupan. Sedangkan Iyyaaka Nasta’iinu menyiratkan hakikat segalanya, bahwa aktivitas ibadah tak akan bisa terlaksana tanpa pertolongan dari Allah semata.
Atas pemahaman ini, maka seorang hamba wajib beramal karena melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah, serta tidak sekali-kali memandang bahwa amalnya itulah yang akan menyelamatkannya dan memasukkannya ke surga. Tetapi melaksanakan semua itu semata-mata karena perintah Allah. Kalaupun ternyata Allah memberikan ganjaran, itu hanya karena Anugerah dari-Nya.
Imam al-Hasan al-Bashri menyampaikan;
“Ilmu hakikat adalah meninggalkan perhatian terhadap ganjaran perbuatan, bukan meninggalkan perbuatan itu.”
Sedangkan ‘Ali bin Abi Thalib ra. menyatakan;
“Orang yang mengira bahwa tanpa bersungguh-sungguh (ibadah) dia bisa sampai ke surga adalah pelamun (mutamann). Dan orang yang mengira bahwa dengan bersungguh-sungguh (ibadah) dia bisa sampai ke surga adalah orang gagal (muta’ann).”
Wallaahu A’lam
Referensi: Siraju at-Thalibin, 1/116, Ihsan al-Jampesi [Beirut: Dar al-Kutubi al-Islamiyyah, 1955]