Dalil-dalil tentang perintah mengajarkan al-Qur’an (dan Islam) kepada orang lain yang diikuti dengan gairah berdakwah yang luar biasa sekarang menjadi trend di antara umat Islam pemangku jagat digital. Landasan umum berdakwah biasanya dalil-dalil ini: “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat…”, “Sebaik-baik kalian ialah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya…”, “Serulah kepada jalan Allah dengan cinta (hikmah), nasihat yang baik, dan debatlah dengan perdebatan yang baik…” dan “Jadilah kalian umat yang mengajak kepada kebaikan dan memerintahkan kepada kemakrufan dan mencegah dari kemungkaran….”
Usai membaca dalil-dalil tersebut, marwah iman kita sontak merasa terpanggil untuk wajib berdakwah. Dakwah kita nobatkan sebagai ekspresi keimanan dan keislaman yang “wajib” kita amalkan.
Sayangnya, yang amat sering diabaikan, ekspresi-ekspresi dakwah di lapangan sungguhlah tak sesederhana semata memenuhi kewajiban sebagai muslim untuk menebarkan iman, Islam, dan kebaikan-kebaikan. Pelbagai ekspresi dakwah di sekitar kita kini kenyataannya malah tak senantiasa selaras dengan kegiatan menebarkan kebaikan-kebaikan itu.
Apa pasal? Soal kapasitas.
Dai yang alim jelas potensial menghadirkan materi dan cara dakwah yang mendalam, diskursif, toleran, dan dialogis, berkebalikan dengan dampak-dampak dakwah si awam yang rentan terjebak pada muatan dan gaya dakwah yang dogmatis, kaku, saklek, sempit, beku, dan keras. Buahnya mudah diterka: merasa pahamnya saja yang paling benar dan lurus, lalu paham-paham lain klaim salah dan sesat.
Begitulah dampak nyata perbedaan dakwah yang diuntaikan sang ahli dengan sang awam. Pendakwah yang bicara tentang “ahlul kitab” dengan pengetahuan yang terbatas, misal, dengan mereka yang sekadar bermodal ayat “Siapa yang tidak menghukum berdasarkan hukum Allah, maka mereka termasuk orang kafir…” niscaya akan telak berbeda penyimpulannya. Yang terbatas akan mudah betul untuk saklek mengklaim bahwa yang selain datang dari al-Qur’an adalah sesat, kufur, dan ahlun nar.
Tuturan pemikiran dan cara dakwahnya jelas akan berbeda telak dengan pendakwah alim yang tahu banyak tentang ayat-ayat bertema tersebut. Misal:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ
“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian pada kitab-kitab itu…. (QS. al-Maidah, 48).
مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ آيَاتِ اللَّهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ …
“…di antara ahlul kitab itu ada golongan yang berlaku lurus…mereka itu termasuk orang-orang shalih.” (QS. Ali Imran, 113-114).
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, Yahudi, Nashrani, Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-bear beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal shalih, mereka akan menerima pahala dari Tuhan, tidak ada kekhawatiran pada mereka, dak tidak pula mereka bersedih.” (QS. Al-Baqarah, 62).
Plus lagi bila dikorelasikan dengan sejarah kepemimpinan Rasulullah Saw yang tertuang dalam Piagam Madinah. Pendakwah yang memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan metode tematik (ayat-ayat senada dikumpulkan, dikaji, baru disimpulkan), misal, jelas akan berbeda sekali buahnya dengan orang yang menyimpulkan suatu hukum dengan hanya berdasar satu ayat.
Muskil benar untuk mampu menyampaikan materi dakwah yang luas dan komprehensif bila hanya berbekal satu dalil, atas dasar “Sampaikan dariKu walau hanya satu ayat…”. Maka mestinya dalil “dorongan berdakwah” tersebut disikapi dengan bijaksana dan hati-hati, bukan sekadar digenggam sebagai kewajiban dakwah asal dakwah.
Di kalangan akademisi studi Islam, telah lazim diketahui bahwa metode penggalian hukum (istinbath al-hukmi) dengan hanya bermodal satu ayat, satu hadits, tanpa melibatkan rangkaian ayat dan hadits terkait, plus pengetahuan mendalam terhadap Ushul Fiqh, sejarah, dan ilmu-ilmu sosial terkait, tidak diakui. Kenapa? Karena itu hanya akan menghasilkan takwil hukum (atau materi dakwah) yang dangkal, dengan watak khasnya yang kaku, saklek, egois, arogan, dan ahistoris.
Wajah Islam yang dikhutbahkan para pendakwah awam nekat tersebut malah hanya akan mengesankan wajah Islam tak nyambung dengan realitas kehidupan umat Islam sendiri. Wajah Islam jadi sungguh terlihat aneh dan ganjil bagai datang dari masa antah berantah.
Terakhir, mari dimafhumi selalu bahwa bangunan-bangunan suatu hukum, termasuk hukum Islam, niscaya memiliki karakter khasnya masing-masing sesuai dengan realitas dan dinamika hidup (budaya) umat masing-masing, yang boleh jadi tidak seragam antarwilayah. Bangunan budaya masyarakat muslim Arab Saudi, misal, yang lalu dengannya terbentuk suatu bangunan hukum Islam, jelas banyak sekali yang berbeda dengan bangunan budaya masyarakat Indonesia. Islam Saudi Arabia wajar saja bila tak sepenuhnya sewarna dengan Islam Indonesia.
Sungguh tak masuk akal untuk menjadikan praktik hukum Islam Indonesia mengekor mutlak praktik hukum Islam Arab Saudi. Jika pola ini dipaksakan, entah atas nama Islam otentik, Islam yang sesuai tuntunan Rasulullah Saw., tepat di waktu yang sejatinya sifat rahmatan lil ‘alamin Islam menjadi terasing dan ahistoris. Islam kita akan menjelma copy paste belaka dari budaya Arab Saudi yang belum tentu sesuai dengan maqashid syariat, ‘illat, yang dikandung teks-teks dalil itu sendiri yang relevan dengan khazanah kekitaan.
Bukankah ini memprihatinkan?
Sayangnya, kita makin abai saja pada aspek prinsipil kompetensi ini atas nama syiar Islam, dakwah islamiyah. Kita lebih tergesa memburu panggung-panggung dakwah sebagai tugas muslim yang kaffah, meski penyampaian kita malah menjadikan kehidupan ini begitu ruwet dan kebak konflik.
Hari ini, kita telah menyaksikan langsung dampak-dampak dakwah yang nekat itu.