Dunia islam pekan ini diriuhkan dengan pernyataan menggelitik dari Pangeran Arab Saudi, Muhammad bin Salman. Ia menegaskan bahwa wahabisme yang selama ini dianggap melekat dengan Arab Saudi sebenarnya bukanlah murni berasal dari kebijakan negaranya.
Salman menjelaskan dengan cukup berani, salah satu penyokong terbesar konservatisme beragama itu adalah Barat dengan sekutunya seperti Amerika Serikat dan negara-negara lain. Bukan hanya itu, pendanaan itu juga menyertakan penyebaran ajaran wahabisme itu sebagai salah satu bagian syarat yang harus dilakukan oleh Saudi.
Hal itu terjadi dimulai sejak era perang dingin. Perang dingin antara sekutu dengan ‘komunisme’ melalui representasi Uni Soviet ini dianggap sebagai pintu masuk pendanaan bagi yayasan-yayasan afiliasi wahabi di Arab.
Selama masa itu, Barat menginvestasikan dana dengan jumlah sangat besar untuk membantu perang melawan Soviet. Investasi dilakukan ke lembaga keagamaan dan madrasah-madrasah.
Untuk apa? Pendaaan besar-besaran itu guna melancarkan usaha menyetop pergerakan muslim di soviet.
Kian konservatif sebuah negara maka kian mudah dikendalikan, itu kira-kira analogi sederhana untuk melihat bagaimana Wahabisme berpengaruh terhadap perkembagan Saudi.
Pendanaan ini, tegas Salman, juga bertugas untuk kampanye dan menyebarkan wahabisme ke seluruh dunia. Yayasan-yayasan ini terkadang tidak berasal secara resmi dari pemerintah, meskipun berada di Saudi. Jejaknya pun sukar diikuti lagi.
“Kami kehilangan kontrol atas (penyebaran wahabisme) ini dan kami akan berupaya mendapatkan semuanya kembali,” tutur Salman.
Beberapa media luar pun beramai-ramai menyambut upaya Salman menjadikan negaranya tidak lagi menjadi kiblat konservatisme. Washington Post misalnya membuat wawancara eksklusif dengan putra mahkota Arab tersebut.
Apakah dengan ini wahabisme benar-benar ditendang dari negari Arab?
Tentu saja patut kita lihat perkembangan berikutnya.
Selain itu, di Indonesia, situasi juga tidak kalah pelik. Masih terkait Dunia islam dan konservatisme. Yakni, upaya menyeret Papua ke konflik.
Pembangunan Masjid Al Aqsa dan menaranya di Sentani, Kabupaten Papua, diduga diprotes oleh warga mayoritas agama setempat. Sontak, info pelarangan ini pun viral dan dikecam publik dan mengikit kedamaian Papua.
Hal ini tentu menimbulkan banyak kekhawatiran. Apakah peristiwa Tolikara akan berpotensi terjadi lagi?
KH Saiful Islam Al Payage membantah dengan sangat tegas hal ini. Bahkan, beliau pun menjelaskan bahwa hal itu cuma perkara kecil dan belum terkordinasi, lantas dibesar-besarkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
“Perlu saya tegaskan, umat islam di Papua tidak sekalipun membuat intoleransi. Saya terdepan mencegah sikap intoleransi di Papua,” tutur beliau.
Dalam penjelasannya juga, Payage juga menerangkan bahwa demi toleransi di Papua, dimohon untuk tidak membawa sentimen agama maupun sektarian ke tanah papua demi kehidupan bersama masyarakat yang sudah berjalan dengan bagus.
“Semua komponen di Papua komitmen untuk hidup rukun dan damai,” tambahnya.
Untuk itulah, perlu upaya yang cukup jernih untuk melihat ini.
Dunia islam pekan ini disemarakkan dengan pertemuan dua saudara, ormas islam terbesar di negeri ini, yakni Muhammadiyah dan NU. Keduanya berjumpa di kantor PBNU di Kramat Raya 165 (24/3).
Dalam pertemuan yang diikuti ketua kedua ormas tersebut, Profesor KH. Haedar Nashir (Muhammadiyah) dan Profesor KH. Said Aqil (NU), tersebut menegaskan komitmen penting untuk senantiasa menjaga NKRI.
Selain itu, kedua tokoh tersebut juga menegaskan pentingnya penguatan narasi digital demi terciptanya keadaan yang kondusif di kalangan masyarakat.
“NU dan Muhammadiyah berkomitmen untuk menghadirkan narasi yang mencerahkan melalui ikhtiar-ikhtiar dalam bentuk penguatan dan peningkatan literasi digital sehingga terwujud masyarakat informatif yang berahlakul karimah,” tegas keduanya.
Satu hal menarik lagi dalam dunia islam pekan ini adalah ramainya diskursus tentang anjing dalam islam. Ada yang pro dan kontra, tapi satu hal yang disayangkan, bukan ilmu yang menjadi acuan untuk jernih melihat anjing dalam islam tapi kebanyakan berupa phobia belaka.
Hal itu diawali oleh berita tentang Hesti, gadis berjilbab, yang memelihara anjing dan viral di media sosial.
Pertanyaannya, apakah memang muslim/ah tidak boleh memelihara anjing? Lalu, bagaimana anjing dalam islam, mengapa kok diharamkan?
Ternyata, dalam diskursus islam para ulama juga berbeda pendapat dan hal itu lumrah saja terjadi.
Di mazhab Syafii yang mayoritas dianut bangsa Melayu dan Indonesia, anjing najis dan tidak boleh dipelihara kecuali untuk tujuan tertentu seperti keamanan dan lain sebagainya. Hal itu berlaku juga di mazhab Hanbali. Itulah alasan, kenapa di Indonesia masyarakat muslim tampak begitu hati-hati terhadap hal ini.
Tapi, jika menengok ke mazhab lain dan negara yang menganutnya, akan sangat berbeda. Misalnya, jika kita tengok negara muslim di Afrika bernama Sudan yang populasi muslimnya 97 persen.
Di negara itu, madzhab Maliki yang dominan dipeluk muslim Sudan dikenal sebagai madzhab yang lebih luwes dalam berbagai hal, dibanding madzhab Sunni lainnya. Pendapat soal anjing adalah salah satunya.
Bagi masyarakat muslim Sudan yang bermadzhab Maliki, anjing tidaklah najis. Maka tak heran jika anjing mudah ditemukan dan banyak yang berkeliaran di Sudan, karena banyak warga yang memeliharanya.
Hal serupa juta terjadi di mazhab Hanafi. Bahkan, dalam sejarah kerajaan-kerajaan islam masa lampau, anjing juga dipergunakan untuk menjaga kerajaan, toko dan berbaur dengan masyarakat, banyak literatur yang menyebut bahwa masyarakat Turki atau Persia biasa saja terhadap anjing ini.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa tentang anjing ini bukanlah hal baru. Bagi muslim, apalagi mazhab Syafii, sejatinya harus tetap terbuka untuk melihat narasi lain ini karena islam tidaklah tunggal dan satu mazhab belaka.