Dunia islam pekan ini diramaikan dengan pemberitaan tentang Valentine di Arab Saudi. Untuk pertama kalinya perayakan Hari Valentine dengan pesan cinta dan kedamaian sapat dinikmati penduduk. Kini, tak ada lagi polisi agama di Arab Saudi yang melarangnya. Tentu saja hal ini menggembirakan setelah hampir tiap tahun menjadi polemik.
Hal ini terjadi setelah muncul fatwa yang mengizinkan perayaan tersebut. Sheikh Ahmed Qasim Al-Ghamdi, seorang ulama Makkah, mendukung Hari Valentine sebagai perayaan sosial yang serupa dengan Hari Nasional dan Hari Ibu.
“Semua ini adalah masalah sosial yang umum dimiliki oleh umat manusia dan bukan masalah agama yang memerlukan adanya bukti religius untuk mengizinkannya,” katanya.
Bahkan, dalam pernyataan yang sama, Al-Ghamdi mengatakan bahwa perayaan cinta tidak terbatas pada non-Muslim.
“Ada banyak hal duniawi yang kita hadapi secara moral yang mungkin menarik bagi komunitas non-Muslim dan menjadi lebih umum di kalangan komunitas Muslim karena popularitas mereka,” tambahnya.
Beliau juga menambahkan, Nabi dijadikan contoh, bagaimana beliau juga berinteraksi dangan non muslim dan segalanya berlangsung biasa saja, tidak ada perdebatan.
Hal senada juga ada di negara-negara lain yang berbasiskan muslim seperti Tunisia dan negara-negara di kawasan Maghribi. Bahkan, mufti Tunisia, Othman Battikh, menolak tuduhan bahwa Valentine merupakan tradisi kristiani.
“Apa pun yang membuat orang lebih dekat bersama adalah hal yang baik dan diinginkan,” tandas beliau.
Selain hal itu, ada sesuatu yang menarik di Prancis di tengah islamophobia yang kian tinggi di Barat.
ebuah survei terbaru di Prancis menunjukkan fakta menarik: nilai islam dianggap sesuai dengan nilai masyarakat di negara tersebut. Peran Islam ini di tengah masyarakat Prancis sebenarnya telah lama menjadi topik yang ramai diperdebatkan. Sebuah studi terkini menunjukkan bahwa masyarakat Prancis sekarang lebih bisa menerima agama ini.
Survei tersebut dilaksanakan oleh lembaga polling IFOP (Institut Francais d’Opinion Publique) dan Le Journal de Dimanche, sebuah surat kabar mingguan di Prancis. Survei tersebut menunjukkan bahwa 56 persen orang Prancis percaya bahwa Islam kompatibel dengan nilai masyarakat Prancis.
Angka ini merupakan sebuah peningkatan. Sebagai perbandingan, dua tahun yang lalu ketika survei serupa diselenggarakan, angka persentase yang sama (56 persen) justru percaya hal yang sebaliknya, yakni Islam tidak kompatibel dengan nilai masyarakat Prancis.
Survei Journal de Dimanche yang diadakan bulan ini juga menanyakan kepada masyarakat Prancis apa pendapat mereka tentang pembuatan pajak atas produk halal, yang pendapatannya akan digunakan untuk membiayai ibadah Muslim di Prancis.
Tidak ada perdebatan pada survei ini, dengan mayoritas responden (70 persen) menentang gagasan tersebut dan hanya 29 persen orang Prancis yang mengatakan bahwa mereka mendukung “pajak halal”.
Persoalan integrasi Muslim adalah salah satu isu yang diperdebatkan di Perancis dan mungkin tidak mengherankan jika pandangan orang mengenai masalah ini sangat bervariasi sesuai dengan partai politik.
Survei tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak pemilih sayap kiri, semakin besar kemungkinan mereka menganggap Islam sesuai dengan masyarakat Prancis.
Secara keseluruhan, 73 persen orang yang mendukung partai Sosialis Prancis percaya bahwa Islam kompatibel. Sama seperti 60 persen dari mereka yang mendukung partai sayap kiri “La France Insoumise”. Dan 58 persen orang yang mendukung partai La Republique en Marche, yang mendukung presiden Prancis Emmanuel Macron, menganggap hal yang sama.
Sementara di ujung lain, di antara orang yang mendukung partai sayap kanan Les Republicains, 63 persen dari mereka berpikir bahwa Islam “tidak sesuai dengan nilai masyarakat Prancis”. Sementara pendukung Front Nasional yang menganggap agama Muslim tidak sesuai dengan masyarakat Prancis jumlahnya masih tinggi, yaitu 62 persen.
Data-data ini kian menunjukkan bahwa sebenarnya islam moderat begitu diterima di Barat, meskipun harus diakui harus berhati-hati dengan islam konservatif yang terus menebar teror hingga membuat islam dicitrakan sebagai agama yang buruk dan penuh kekerasan.
Sementara itu, di Indonesia, kepulangan Habib Rizieq yang santer diperbincangkan orang ternyata berakhir antiklimaks. Habib Rizieq menunda kepulangan yang dijadwalkan Rabu, berpepatan dengan aksi 212 yang menggemparkan jagad perpolitikan Indonesia karena aksa massa muslim yang begitu besar hanya untuk menggulingkan Ahok yang dianggap menistakan islam.
“Akhirnya saya teruskan untuk istikarah mohon petunjuk Allah SWT, karena hanya Allah SWT yang maha tahu tentang apa yang terbaik dan terburuk untuk hamba-nya, walupun saya senantiasa beritikad sekeluarga untuk pulang pada hari ini, untuk jaga-jaga jika di menit terakhir bisyarah sekeluarga bisa segera pulang,” kata Rizieq lewat sambungan telepon di Masjid Baitul Amal, Cengkareng, seperti dikutip dari Detik.com
Rizieq pun menambahkan, ia tidak pulang karena belum mendapatkan petunjuk dari Allah. Bahkan, ia juga mengaku belakangan merasa resah dengan kondisi tanah air.
“Saudaraku yang tersayang, hati ini semakin sakit, sedih dan pedih tatkala kini para ulama dan aktivis Islam hingga imam masjid dan marbotnya diserang dan dianiaya. Itu sebabnya semangat pulang saya semakin berkobar,” tuturnya.
Kegagalan pulang Habib Rizieq menyiarkan gundah gulana bagi para penggemarnya, khususnya mereka yang sudah menyiapkan penyambutan seperti Persaudaraan Alumni 212. Bahkan, mereka pun meminta maaf.
“Kami menjelaskan secara jujur dan transparan kenapa IB Habib Rizieq Syihab (HRS) tidak jadi pulang ke Indonesia. Meminta maaf kepada umat Islam khususnya yang telah hadir untuk menjemput kedatangan IB HRS. Apalagi yang datang dari berbagai penjuru luar kota,” tutur Aminuddin, presidium 212 dalam rilisnya.
Ia pun meminta teman-temannya sesama Persaudaraan Alumni (PA) 212 agar tidak grusa-grusu.
“Kasihan umat yang dari jauh-jauh ingin menyambut kedatangan ulamanya, habaibnya. Dan kasihan HRS pasti sangat terbabani dengan kejadian ini,” tambahnya.