Akhir bulan lalu, diwacanakan gerakan “Pilpres 2024; Duet NU-Muhammadiyah”. Tidak sembarang wacana. Gagasan ini diinisiasi oleh ICMI Muda. Konon, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia adalah wadah para pakar. Karenanya, wacana yang ditawarkan tentu telah melalui kajian. Dipertimbangkan secara mendalam. Jangka pendek dan jangka panjang. Lebih dari itu, AM Iqbal Parewangi selaku Ketua Dewan Istiqamah ICMI telah melakukan roadshow. 28 Juni 2022 menyambangi PP Muhamdiyah. Dilanjut 29 Juni 2022, rombongan ICMI Muda silaturahmi ke MUI. Agendanya sama, menawarkan gerakan Pilpres 2024 Duet NU-Muhammadiyah. Menawarkan kepemimpinan umat dari NU-Muhammadiyah. Duet keduanya dinilai akan meraup suara mayoritas. Lantas bagaimana kita menyikapinya?
Kita perlu mengapresasi pernyataan Faiz Rafdhi. Wakil Ketua Dewan Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah itu menyatakan bahwa PP Muhammadiyah tidak akan tergoda terjun ke politik praktis. Konsisten menjadi rumah bangsa Indonesia. Menjaga nilai-nilai dan etika politik kebangsaan. Tidak mendukung secara partisan. Namun demikian, PP Muhammadiyah tetap menghormati dan menerima kunjungan ICMI Muda. Pilpres 2024 merupakan momentum yang strategis. Karena itu, Muhammadiyah harus menyumbangkan peran. Memastikan alih kekuasaan berlangsung secara demokratis dan bermartabat. Meskipun tidak harus ikut mengusung pasangan capres-cawapres.
Partai Politik dan Civil Society Organization
Konsisten menempatkan NU-Muhammadiyah sebagai kekuatan civil society organization adalah sebuah langkah tepat. Keduanya bukan partai politik. Dalam kesarjanaan ilmu poltik, secara tegas dipilah peran dan fungsi partai politik dan civil society organization (CSO). Partai politik adalah institusi penyuplai politisi. Menggerakan struktur politik secara legal formal. Menduduki wilayah legislatif dan eksekutif. Baik di pusat ataupun daerah. Giovanni Satori dalam bukunya “Parties and Party Systems” (1976) mendefinisikan partai politik sebagai organisasi politik yang mengikuti pemilihan umum dan, melalui pemilihan umum itu, mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik.
Berbeda dengan CSO, John T. Ishiyama, mengutip dari “The London School of Economic Centre for Civil Society” mendefinisikan CSO sebagai organisasi di luar negara, pasar, dan keluarga. Organisasi ini dapat berupa penggalangan donasi, organisasi pemberdayaan masyarakat, kelompok komunitas, organisasi perjuangan hak-hak perempuan, organisasi keagamaan, asosiasi profesional, dan organisasi gerakan sosial. Singkat kata, CSO adalah organisasi pemberdayaan yang tidak berorientasi untuk merebut kekuasaan politik. Namun demikian, peran CSO sangatlah vital bagi demokrasi.
Gabriel Almond dan Sidney Verba dalam bukunya “The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations” (1963) menyebut peran CSO sangatlah penting bagi demokrasi. Tepatnya adalah sebagai aktor mediasi hubungan antara individu atau masyarakat dengan negara (mediating factor between individuals and the state). Peran mediasi ini dapat dijabarkan ke dalam 3 fungsi. Pertama, CSO akan memberikan wadah kulminasi sumber politik (political resources) guna menghadapi dominasi negara.
Kedua, CSO dapat membantu membentuk dan mempengaruhi sikap pilihan politik bagi masyarakat, salah satunya ialah dengan menyediakan informasi yang lebih luas dari realita politik. Dari informasi ini, masyarakat dimampukan memiliki kesadaran politik yang baik. Memiliki pilihan politik yang berkualitas. Mampu menyumbangkan partisipasi politik yang aktif. Muaranya, berkorelasi positif bagi terbentuknya tata kelola pemerintahan yang baik. Ketiga, CSO dapat membantu mempromosikan nilai-nilai budaya politik. Budaya ini yang dapat menopang perbaikan kualitas demokrasi. Diantaranya adalah toleransi, moderasi, dan kemampuan untuk menerima pendapat orang lain. Tepat di titik inilah, kita harus konsisten menempatkan NU-Muhammadiyah.
Posisi Strategis NU-Muhammadiyah
Duet NU-Muhammadiyah sangat penting dan strategis. Namun tidak dalam tataran politik praktis. Mengusung pasangan Capres-Cawapres di Pilpres 2024. Duet NU-Muhammadiyah adalah penguatan politik kebangsaan. Politik yang mengutamakan nilai-nilai persatuan, kemanusiaan dan keadilan. Di titik ini, NU-Muhammadiyah harus sinergi dan bergandeng tangan, termasuk menggandeng elemen bangsa yang lain. Peran ini yang harus dipahami oleh kader. Sehingga tidak mudah tergoda lompat pagar.
Dalam sistem politik Indonesia, NU-Muhammadiyah dikategorikan sebagai religious based civil society organization. Penopang dari kekuatan masyarakat madani berbasis agama. Bukan sebagai partai politik. Secara legal, partai politiklah yang berhak mengusung pasangan capres-cawapres. Termasuk juga calon yang akan duduk di kursi legislatif. Karena itu, peran dan fungsi ini harus dipahami. Masing-masing sama pentingnya.
Dalam rentang sejarah politik Indonesia, NU-Muhamadiyah sudah membuktikan peran nyatanya. Menjadi kekuatan penyeimbang dari ragam kepentingan. Termasuk ijtihad NU yang pernah menjadi partai politik. Dalam perkembangannya, status sebagai partai politik dirasa bukanlah peran ideal bagi NU. Sehingga kembali ke khithah 1926.
Pasca Orde Baru, di era Reformasi, masing-masing elit dan tokoh NU-Muhammadiyah juga telah berperan. Yakni dengan mendirikan PKB dan PAN. Keduanya diniatkan untuk menjaga indepedensi NU-Muhammadiyah dari dunia politik praktis. Di sisi lain, tetap memberikan wadah bagi warganya untuk menyalurkan aspirasi politik. Secara struktural, terdapat pemilahan garis yang jelas.
Karena itu, jika ada wacana duet NU-Muhammadiyah dalam bentuk mengusung capres-cawapres 2024, maka wacana ini bukanlah sekedar tidak tepat, tetapi juga kontraproduktif. Berbeda jika duet NU-Muhammadiyah tersebut untuk menguatkan politik kebangsaan. Yakni mendorong masyarakat dan para kontestan Pemilu 2024 untuk mengedepankan etika, persatuan, kemanusiaan, keadaban, dan keadilan. Tentu duet NU-Muhammadiyah ini sangat tepat. Wallahu a’lam bisshowab.