Dalam tradisi Islam, perintah Allah kepada Ibrahim untuk menyembelih anaknya dilihat sebagai ujian ketaatan. Sekilas, tidak ada yang salah dengan anggapan ini, meski sebenarnya kurang tepat. Dikisahkan al-Thabari (224-310 H) dalam tafsirnya, perintah melalui mimpi agar Ibrahim menyembelih putranya justru semata-mata pengingat terhadap apa yang Ibrahim nadzarkan sejak lama. Dulu, saat malaikat mengabarkan kabar gembira kelahiran calon putranya (Ishaq), Ibrahim bernadzar akan mempersembahkan anaknya kepada Tuhan sebagai sesembelihan.
Seperti terlihat pada QS 37: 99-110, beberapa jenis ujian Allah dijalani Ibrahim dengan baik. Mulai dari membenarkan mimpi perintah untuk menjalankan nadzarnya, yaitu menyembelih anaknya, lalu meminta pendapat anaknya dengan cara baik-baik, hingga benar-benar merelakan anaknya untuk Ia sembelih sendiri.
Momen di mana Ibrahim meminta pendapat anaknya, seperti dijelaskan dalam Tafsir al-Thabari, jarang diketahui dan sangat miris dikisahkan. Bayangkan saja, ketika itu Ishaq diajak ke tempat penyembelihan sambil membawa pisau dan tali seolah tidak ada apa-apa. Ketika mereka mencapai titik di antara dua gunung, dengan lugunya Ishaq bertanya, “Wahai ayah, di manakah kurbanmu?” Seperti dijelaskan QS 37:102, Ibrahim menyampaikan bahwa dialah korbannya dan sang anak dengan lapang hati penuh kesabaran menyatakan persetujuannya.
Ishaq tanpa kegoncangan hati memandu ayahnya menyiapkan kematiannya. “Wahai ayah, kuatkan tali (pengikat)nya agar jangan sampai goyang. Tahan aku dari meronta sehingga darahku tidak mengotori pakaianmu dan hal-hal lainnya. Percepat laju pisau di kerongkonganku, agar kematian terasa ringan bagiku. Kalau kau menemui (ibu) Sarah, sampaikan salamku kepadanya.” Lalu keduanya menangis. Sebelum pisau benar-benar terhunus, Tuhan menggantinya dengan dzabhun ‘adziim (sebuah domba, kabsy). Demikian keterangan dari Tafsir al-Thabari.
Oleh Tuhan, Ibrahim disebut muhsinin, sebutan untuk seseorang yang menyelesaikan tindakan-tindakannya secara sempurna, maksimal, dan lengkap. Kata hasan sepadan dengan tamaam, kamaal, dan jamaal, yang berarti lengkap, utuh, dan indah. Dapat dikatakan, muhsin adalah sebutan paling cocok untuk seorang Muslim paripurna dalam tindakannya, seperti Ibrahim.
Versi Lain Mimpi
Seperti pada QS 8:43 yang berkisah tentang visi yang Allah tunjukkan kepada nabi Muhammad pada Perang Badar melalui mimpi (manaam), visi informasi yang sama juga terjadi pada mimpi (manaam) Ibrahim seperti direkam QS 37:99-110. Kedua mimpi tersebut mutlak benar dari Tuhan. Yang pertama mengantarkan Nabi pada kemenangan di Perang Badar, yang kedua menguatkan dan mengingatkan nadzar Ibrahim sehingga ia melaksanakannya dan lalu ditanggapi Allah dengan sesembelihan domba. Namun demikian, ada versi lain yang menyebut bahwa mimpi Ibrahim berasal dari setan.
Adalah Al-Qummi (270-343 H), salah seorang mufasir terkemuka Syiah yang memberikan informasi versi lain tersebut. Menafsirkan QS 37:102, al-Qummi menghadirkan cuplikan obrolan antara Ibrahim dengan seorang tua (syakhun). Tatkala Ishaq dan Ibrahim menyepakati penyembelihan, ia mengajukan tanya kepada Ibrahim. “Wahai Ibrahim, apa yang kamu inginkan dari pemuda ini (al-ghulaam)?” “Aku ingin menyembelihnya.” Jawab Ibrahim.
“Subhanallah! Kamu akan menyembelih pemuda yang tidak pernah sekalipun bermaksiat selama hidupnya!” Ia terheran. “Allah memerintahkanku akan hal itu (mengingatkan akan nadzarnya).” Ibrahim membela diri. Seorang tua berkesimpulan, “Tuhanmu melarangmu akan hal itu (menyembelih anakmu). Yang memerintahmu tidak lain adalah setan.”
Ibrahim bersikukuh, “Celakalah engkau. Sesungguhnya yang menyampaikan pesan ini adalah yang memerintahkanku melakukannya, termasuk ucapan (wahyu, al-kalaam) yang ada di telingaku.” Seorang tua itu masih bersikukuh, “Tidak. Demi Allah, yang memerintahmu tidak lain adalah setan.” Ibrahim tak kalah yakin, “Tidak. Demi Allah aku tidak akan sudi lagi berbincang denganmu.” Kuatnya keinginan Ibrahim menyembelih anaknya membuat seorang tua itu putus asa dan mengakhiri kalimatnya, “Wahai Ibrahim, kamu adalah seorang imam yang diteladani. Jika kamu (jadi) membunuh anakmu, maka orang-orang akan juga membunuh anak-anak mereka.”
Seperti diketahui, persembahan berupa manusia (human sacrifice) yang ditujukan kepada Tuhan telah ada sejak lama. Sejarah mencatat, pertama kali dilakukan di India era Peradaban Lembah Hindu (Indus Valley Civilization) pada 2600-1900 SM. Sementara Ibrahim hidup di antara 1996-1821 SM, besar kemungkinan budaya persembahan manusia kepada Tuhan masih lazim dan karenanya agama yang dibawa Ibrahim bermaksud menghentikan tradisi yang membudaya tersebut.
Persoalan ‘siapa aktor’ yang berada di balik mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, biarlah itu menjadi renungan kita bersama bahwa di balik semangat keberagamaan kita dengan ‘mengatasnamakan Tuhan’ bersemayam setan-setan yang mengintai kelengahan iman kita. Wallahu a’lam.
Ahmadi Fathurrohman Dardiri, Penulis adalah Pengajar di IAIN Surakarta.