Kapan ya terakhir kali kita dengar kabar baik dari dunia per-toleransi-an di negeri ini? Ah, susah ya? Apalagi setelah membaca berita penyegelan masjid milik jemaah Ahmadiyah di Garut.
Bayangin, kamu malam-malam lagi ngeronda di sebuah perempatan di kampung Nyalindung, Cilawu, Garut, Jawa Barat, lalu diinterupsi oleh kerumunan Satpol PP yang bergegas ke suatu tempat.
Ya, Malam hari! Tapi kenapa sih harus malam-malam? Mungkin biar dramanya lebih terasa, atau sekadar biar nggak ada saksi mata yang ngerekam di TikTok.
Yang hadir siapa aja? Wah, komplit banget kayak rapat RT: ada Polres, Kejaksaan, MUI, FKUB, dan Bakesbangpol Garut. Tim Forkopimda Cilawu ternyata juga ikut-ikutan.
Mereka berada dalam aliansi Tim Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat, atau disingkat PAKEM. Semua hadir kayak lagi nonton konser. Cuma, kali ini bukan band yang manggung, tapi masjid yang disegel.
Alasan Penyegelan
Menurut mereka, penyegelan ini atas dasar laporan warga.
“Berdasarkan hasil pemantauan diperoleh bukti permulaan yang mengindikasikan bahwa kegiatan pendirian sebuah bangunan ini dalam rangka tempat peribadatan serta aktivitas penyebaran ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang berlangsung sejak 2013-2024,” demikian keterangan dari Tim PAKEM, seperti dikutip CNN Indonesia.
Oke, mungkin ada warga yang merasa terganggu. Tapi, bukti yang dikumpulin Tim PAKEM katanya menunjukkan masjid ini udah dipakai buat ibadah dan penyebaran ajaran Ahmadiyah sejak 2013. Kalau bener dari 2013, kenapa baru sekarang disegel? Apa nungguin momentum yang tepat buat bikin drama?
Melanggar Kebebasan Beragama
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBI), M. Isnur, bilang penyegelan Masjid Jamaah Ahmadiyah di Garut ini udah melanggar kebebasan beragama.
Menurut dia, udah jelas-jelas tertulis di UUD 1945, bahwa semua orang di Indonesia bebas beribadah sesuai keyakinannya. Kok ya masih aja ada yang gak paham.
Tapi, siapa sih yang peduli sama pasal-pasal itu kalau ada yang nggak suka? Katanya lagi, “toleransi makin menipis.” Bener juga, kayak kuota internet di akhir bulan, makin hari makin sekarat.
Isnur lalu meminta institusi Presiden, KSP, Mendagri, dan Kemenag buat turun tangan. “Jangan cuma nonton, bro! Lakuin sesuatu dong!” kayak gitu mungkin pekikannya.
Tapi, ya, kita semua tahu, banyak teriakan cuma jadi angin lalu.
Solidaritas antar Umat Beragama (SAJAJAR) juga mengeluarkan pernyataan serupa. Mereka bilang Pemkab Garut udah ngelangkahin kewenangannya. Urusan agama itu wewenang pusat, bukan daerah.
Eh, tapi siapa juga yang dengerin? Mungkin mereka pikir ini urusan pribadi yang bisa diatur seenaknya.
Agama: Alat Politik dan Kontrol Sosial?
Kenapa sih drama penyegelan masjid atau rumah ibadah lainnya ini kayak nonton sinetron yang diulang-ulang terus? Jawaban rada-radanya barangkali karena skripnya selalu sama.
Ada yang merasa terganggu, ada yang nggak suka, terus diakhiri dengan tindakan kontra-produktif. Nggak ada solusi nyata, cuma adu argumen, mengklaim paling benar, dan lalu lempar tanggung jawab.
Mary Douglas, seorang antropolog terkemuka, pernah bilang bahwa masyarakat sering kali menggunakan mekanisme pengucilan untuk menjaga integritas budaya mereka.
Dalam konteks ini, masyarakat mayoritas mungkin merasa perlu “melindungi” kepercayaan mereka dari yang dianggap menyimpang. Di sinilah barangkali muasal drama seperti penyegelan Masjid Ahmadiyah itu terjadi.
Sementara itu, ilmuwan studi agama seperti Karen Armstrong juga sering menggarisbawahi bahwa agama seharusnya menjadi sumber kedamaian, bukan konflik.
Namun, sejarah juga menunjukkan bahwa agama seringkali digunakan sebagai alat politik dan kontrol sosial. Penyegelan masjid Ahmadiyah di Garut mungkin mencerminkan bagaimana agama dan kekuasaan saling terkait di tingkat lokal.
Anthony D. Smith, seorang sosiolog yang banyak meneliti soal identitas nasional dan etnis, berpendapat bahwa konflik keagamaan sering kali berakar pada identitas kelompok yang merasa terancam.
Jadi, penyegelan Masjid Ahmadiyah ini bukan cuma soal keyakinan yang dianggap menyimpang, tapi juga soal ketakutan akan perubahan identitas sosial dan budaya. Dan, sumber ketakutan itu biasanya berasal dari mental masyarakat yang terlampau rendah diri dengan keimanannya sendiri.