Beberapa orang suka sekali menyebar berita tidak jelas. Ketika ditunjukkan bukti bahwa itu berita hoax atau fitnah, mereka berkelit: “kan aku cuma share,” “Untuk jaga-jaga siapa tahu benar,” dan sebagainya. Tetapi mereka lupa tiap share berita di internet, yang membaca bisa ratusan hingga ribuan orang.
Kita dulu sebelum ada internet kadang mendengar orang hidupnya hancur karena kebohongan dan fitnah yang timbul dari kebencian. Sekarang lebih parah. Orang-orang politik tidak peduli berapa banyak kebencian tumbuh subur, bahkan ditengarai ada yang sengaja memeliharanya. Hoax dan fitnah dan caci-maki menjadi senjata.
Sialnya, dalam masyarakat yang tingkat literasinya belum signifikan, banyak yang mudah diprovokasi. Ketika sudah bicara politik, orang makin toleran pada hoax dan fitnah.
Argumen umumnya: karena pendukung X pakai hoax, maka pendukung Z merasa tidak apa-apa membalas dengan hoax. Hoax dibalas hoax, aib dicari-cari dan dikuliti sampai ke bilik-bilik paling privat untuk diumumkan ke medsos agar kebencian terpuaskan, caci maki dibalas caci maki, dan orang senang menari mengikuti irama ini. Dimensi kemanusiaan tidak penting lagi. Mau marah kek, mau sedih kek, mau hancur kek, tak jadi soal, yang penting aku puas melampiaskan kekesalan, yang penting kelompokku menang. Dan masing-masing pihak merasa tidak berdosa.
Sedihnya, yang melakukan itu sebagian adalah orang-orang yang mengaku bertuhan atau beragama. Agama diturunkan agar manusia, baik itu di level individu (spiritual dan akhlak) dan level sosial, tidak mengalami kerusakan dan kekacauan. Namun yang terjadi sebaliknya. Perlahan-lahan kita saling memangsa, menghancurkan, demi orang-orang yang padahal jika kita miskin dan sakit, mereka tidak peduli, sebab sibuk berebut kekuasaan dan menumpuk kekayaan.
Hanya karena politik, kita meremehkan mudharat dusta dan fitnah dan perpecahan. Enteng betul kita menyebar hoax dan saling mencela dan memburu aib, saling merasa benar. Saat kita ikut share berita, amal share kita tercatat. Jika yang kita share adalah dusta dan fitnah provokatif, maka kita ikut dalam arus dosa jariah. Tetapi mari perhatikan, melihat banyak orang ikut-ikutan share hoax dan senang jika ada pertengkaran dalam situasi politik yang panas ini, berapa banyak masih yang peduli pada ancaman dari Tuhan tentang hukuman atas penyebaran dusta dan fitnah?
Apapun yang kita lakukan, akan dibaca anak cucu kita nanti. Pilihan di tangan kita: Sesudah kita dikubur dan semua kekuasaan, harta dan kuota tak bisa membela diri kita, apakah kita ingin dikenang oleh anak kita, oleh tetangga kita, oleh netizen pada umumnya.
Sebagai salah satu dari penyebar hoax yang destruktif atau tidak. Secerdas apapun kita berdalih menyamarkan kebencian di hati dan dusta kita di hadapan manusia, kita tidak bisa berdusta di hadapan Tuhan karena Dia Mahamengetahui lagi Mahateliti. []
Lihat juga tulisan lainnya dari penulis di sini