Bagi masyarakat awam, Corona adalah jenis virus baru yang masih membingungkan. Bahkan para dokter sekalipun, saya rasa, masih belum bisa menjelaskan dengan mantap. Satu hal pasti, belum ditemukan juga vaksinnya. Dan karena itu pula, imun tubuh menjadi andalan dalam memerangi Corona.
Bila kita ingat kejadian seorang reporter TV dibully Netizen karena dianggap berlebihan memakai masker–emangnya salah jenis masker? Maka apakah lagi-lagi untuk saat ini, para netizen, jelas mereka tidak lebih tahu apa yang bakal terjadi untuk hari-hari ke depannya.
Jangan lagi bertanya tentang para buzzer. Mereka menjadikan wabah Corona tak ubahnya sebagai panggung kampanye dan debat politik. Meski bersama-sama berdoa tetapi tetap saling menyumpahi.
Lalu, masyarakat tetap berada dalam kebingungan. Kenapa? Karena belum ada stakeholder yang bisa menjelaskan dengan cukup meyakinkan tentang Corona ini. Apa dan bagaimana kita, masyarakat, negara dan unsur-unsur kepercayaan harus berbuat dan menyikapinya.
Sejak virus ini belum masuk Indonesia, masyarakat sudah mulai mendengar dari berbagai media bahwa di luar negeri sudah banyak negara mengalami wabah Corona. Tetapi sepertinya pemerintah ingin memberi tahu, itu bukan bahaya bagi bangsa Indonesia. Pemerintah berusaha meyakinkan bahwa rakyat Indonesia adalah rakyat unggul pilihan Tuhan yang tidak mempan virus Corona.
Masyarakat Muslim biasa mendengar hal demikian, kualitas masyarakat unggul dan pilihan di mulai dari zaman bangsa Yahudi dipimpin Nabi Musa. Orang Indonesia pernah mendengar ras unggul ini; Jerman dan Hitler. Dan masyarakat Muslim banyak yang merasa mereka juga unggul secara ras sejak mereka menjadi Muslim. Tapi ya sudahlah, itu hal lain.
Di saat bangsa lain sudah banyak menderita karena Corona, pemerintah Indonesia malah memberi stimulus ekonomi, khususnya di sektor perjalanan dan pariwisata. Hal yang belakangan diputuskan bertolak belakang tanpa adanya koreksi, klarifikasi aplagi permintaan maaf dari pemerintah.
Pemerintah sempat mendapat tepuk tangan saat berhasil memulangkan WNI dari daerah pendemi, baik di daratan maupun di lautan. Karantina sukses seratus persen dan diteruskanlah klaim ras unggul bangsa Indonesia. Empon-empon dan Susu Kuda Liar menjadi trend perbincangan dan perburuan di pasar-pasar. Optimisme melawan Corona terus dibangun dan cukup berhasil sementara waktu.
Semangat heroisme terus disuntikkan kepada rakyat Indonesia. Termasuk bahwa obat dan alat test sudah dibeli dalam jumlah jutaan. Tetapi pada saat bersamaan, pemerintah kelihatan goyah dan mulai kalah dengan mempertontonkan ketidakharmonisan dan ketidakkompakan dalam melaksanakan kebijakan.
Sekali lagi sudahlah, tak usah bicarakan para buzzer. Mengamati sikap dan gerakan pemerintah pun kita bisa pusing tujuh keliling. Sudah pada Gubernur dan Bupati/Walikota bertindak suka-suka saling berbeda dan jelas tanpa koordinasi. Padahal ini masih negara republik. Masih ada presiden yang memiliki ratusan pembantu dalam menjalankan dan memikirkan roda pemerintahan.
Tidak perlu disebutkan semua contoh, mungkin cukup beberapa saja untuk mengingat, ada propinsi yang tiba-tiba membatasi jumlah kendaraan umum. Akibatnya penumpukan dan jubelan penumpang menjadi parodi di tengah seruan social distancing. Ada Gubernur yang mempersilahkan kapal yang dicurigai membawa penumpang terjangkit Corona, sandar di dermaganya. Kemudian ia mengumumkan bahwa semua Aman terkendali, padahal rumah sakit darurat sudah mulia dibahas.
Lalu ada penjelasan bahwa rapid test yang kemarin viral itu hanya untuk mengetahui sistem kekebalan seseorang saja. Masih oke atau sudah loyo? Jadi bukan positif atau negatif dari virus Corona, karena hasil ini hanya bisa diketahui setelah beberapa hari pengujian.
Intinya memang terlalu mencolok inkonsistensi pemerintah. Entah gagap/meremehkan/atau memang strategi perang. Pemerintah secata jelas menyebutkan BIN ikut dalam gugus tugas Corona. Masih ingatkah pemerintah dibully karena ini?*
Semua kejanggalan tersebut, mungkin hanya akan bisa dimengerti dengan memahami bahwa definisi/ta’rif/pelanggeran tentang Corona ini hanya jami’ saja. Nyaris tidak ada mani’-nya. ODP/PDP/POSITIF beralih dari status medis ke status sosial politik. Ini bahasanya anak santri, begini sederhananya.
Bahwa : orang yang pernah berhubungan atau berada satu ruangan dengan penderita atau orang yang pernah berhubungan dengan penderita, atau orang yang pernah berhubungan dengan orang yang pernah berhubungan dengan penderita, atau orang yang pernah berhubungan dengan orang yang pernah berhubungan dengan orang yang pernah berhubungan dengan penderita dan seterusnya adalah ODP.
Orang dapat terjangkit meski tampak sehat. Dan orang yang terjangkit yang sehat dapat menularkan . Dan orang yang pernah berhubungan dengan orang yang sehat yang pernah berhubungan dengan orang yang terjangkit dst juga bisa menularkan.
Makanya orang yang terjangkit dan pernah berhubungan dengan orang yang terjangkit bisa tiba-tiba ada di mana saja. Dan lalu masyarakat panik, negara panik. Lockdown tiba-tiba seperti tak bisa ditawar. Entah masa bodoh dengan nasib rakyat, yang penting negara harus selamat. Entah bagaimana menjelaskannya
Jadi dengan latar belakang ini, mungkin tampak wajar kalau hasilnya/prosesnya seperti ini. Semua serba memaksa. Tidak ada penjelasan apa pun yang memadai. Mau ya begini begitu. Gak mau ya dicap pembangkang, minimal ngeyel.
Maka kini rakyat dan masyarakat hanya tinggal memiliki satu senjata dan sekaligus perisai, yakni doa. Semoga Allah melindungi kita semua dari pandemi Corona dan semua ketidakjelasan ini. Lalu apakah mereka yang berdoa akna dibully dan rumah ibadah harus ditutup total? Semoga kita masih waras untuk bisa mempertimbangkan membolehkan orang berdoa.
Semoga Allah melindungi kita semua.