Fenomena keagamaan Islam akhir-akhir ini menggembirakan sekaligus mengkhawatirkan. Kegembiraan muncul karena fenomena religiusitas dan kesadaran beragama meningkat. Bahkan kedermawan umat di Indonesia tertinggi di dunia. Selain ditunjukan oleh penelitian juga riil perolehan kotak amal di masjid dan lembaga sosial terus meningkat.
Kekhawatiran keberagamaan muncul karena adanya politisasi agama dan radikalisasi beragama. Fenomena politisasi ber-Islam selalu muncul pada event-event pesta politik dan suksesi kepemimpinan nasional. Tak sedikit politisi atau pembimbing umat yg sengaja memanfaatkan dalih-dalih Islam untuk kepentingan politik personal dan kelompoknya. Sehingga agama bukan diperjuangkan utk menegakkan nilai-nilainya tetapi hanya digunakan untuk memenangkan ambisi politik praktisnya.
Seyogyanya politisi dan pejuang Islam meletakkan garis perjuangannya untuk membawa prinsip-prinsip Islam guna menegakan keadilan dan menyejahterakan umat, baik dalam kontek politik praktis maupun politik kebangsaan dan keadaban
Kekhawatiran radikalisasi ber-Islam muncul dari kesengajaan dan karena ketaksengajaan. Kesengajaan radikalisasi muncul karena tujuan politik kekuasaan dengan mengajarkan agama yang berorientasi pada politik kepartaian. Ajaran Islam yang hanya bicara politik praktis dan seakan politik adalah rukun Islam akan mengakibatkan pendangkalan agama sekaligus menghilangkan ruh ajaran Islam yang hakiki, yaitu menyempurnakan akhlak dan menyebarkan kedamaian kepada semua alam semesta.
Ketaksengajaan radikalisasi beragama Islam muncul karena memahami agama secara tekstual dan leterlek. Banhkan memahami Islam tanpa perangkat metodologi Islam yang digariskan oleh ulama salaf. Sehingga ia memahami agama secara harfiyah yang parsial. Ajaran Islam yang dipahami secara sepotong-sepotong dari ayat dan hadits tanpa menelaah yang komprehensif dan mengikuti metodologi dan hasil kajian ulama terdahulu akan mengakibatkan kedangkalan dan kesalahpahaman. Celakanya lagi mereka hanya belajar mandiri dari laman web dan youtube tanpa bimibingan guru dan transmisi keilmuan yang valid.
Realita menyalahkan paham orang lain di ranah masalah khilafiyah dan merasa hanya benar sendiri adalah muncul dari pemahaman agama yang tekatualis. Keterbatasan bacaan dan telaah keilmuan membuat mereka merasa benar sendiri dan hanya kelompoknya yang akan masuk Surga. Celakanya mereka menyerang kepada kelompok lain yang tidak sependapat dengan dirinya.
Seperti penggunaan niqaab (Cadar). Hukum menggunakannya adalah terdapat perbedaan pendapat antara ulama. Menurut Abi Qatadah hukumnya adalah wajib karena termasuk aurat (batas kehormatan) perempuan yg wajib ditutupi, yaitu seluruh badannya kecual matanya. Tapi menuru Ath-Thabari hukumnya wajah bukan aurat sehingga tak wajib ditutupi. Hal ini dapat disamakan dengan rukun shalat yang tak wajib menutupi wajahnya. Bahkan saat menunaikan ibadah haji pun dilarang bagi perempuan untuk penutupi wajahnya. Hal ini bertanda bahwa wajah perempuan bukan aurat.
Celakanya, cara menyikapi perempuan bercadar menjadi terpolarisasi menjadi ciri paham keagamaan bagi kelompok tertentu. Hasilnya ada kelompok lain sesama Islam yang melarang bercadar karena menganggap sebagai simbol aliran politik kepompok politik tertentu. Bahkan ada sebagian masyarakat yang takut bercadar karena acapkali menjadi simbol dari paham keagamaan yang mengajarkan kekerasan dan terorisme.
Fenomena Perguruan Tinggi Islam Negeri yang pernah melarang mahasiswanya menggunakan cadar, namun setelah mendapat penentangan dari masyarakat kemudian peraturan itu dicabutnya membuktikan bahwa ada distorsi beragama sedang terjadi di Indonesia. Masyarakat ada yang phobia dengan simbol Islam karena acapkali dipakai utk kepentingan politik sekaligus menunjukan kesalahpahaman beragama.
Terakhir ini ada berita yang menyebutkan ada lembaga yanb melarang mengajarkan al-Qur’an di kantor tertentu. Ini aneh mengingat Indonesia tengah marak dengan fenomena hafalan al-Quran. Satu sisi program tahsin dan tahfidz itu baik dan danjurkan, namun di sisi lain mengkhawatirkan karena beberapa hal berikut.
Pertama, Pembaca dan penghafal al-Quran tak melanjutkan dengn perangkat lunak untuk memahaminya, sehingga merasa cukup dengan membaca al-Qur’an bi al-ghaib (hafalan) sehingga tak mengerti kandungan dan rahasia al-Qur’an yang sebenarnya untuk dipraktikan. Hafalan yang tak memahami kandungan al-Quran akan mengakibatkan pada paham keagamaan tekstualis yang dangkal.
Kedua, al-Quran menjadi kehilangan makna sebenarnya. Yaitu petunjuk bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan. Al-Quran adalah manual book bagi manusia. Belajar hidup yang baik menurut Allah SWT. manakala menerapkan isi al-Quran. Rasulullah saw. merupakan visualisasi dari kandungan al-Qur’an. Maka tak mungkin dapat memraktekan al-Quran jika tak paham makna dan tafsirnya.
Kasus ada lembaga pemasyarakatan yang melarang belajar baca al-Quran adalah bukti dari kesalahpahaman seseorang terhadap orang yang belajar al-Quran karena dianggap meresahkan. Ini akibat pemahaman dan paham yang salah sehinggal menimbulkan gejolak. Sebenarnya Al-Quran mengajarkan humanisme dan kesantunan sebagaimana misi akhlakul karimah namun acapkali dipahaminya keliru sehingga salah pula dalam menerapkannya.
Distorai Islam oleh kaum muslimin mengakibatkan tak ditemukan ajaran Islam dalam kehidupan umat muslim. Hal ini bukan karena meninggalkan Islam tapi karena kesalahpahaman pada ajaran Islam atau karena sengaja memanfaatkan Islam untuk kekuasaan. Inilah kewajiban para ulama dan asatidz untuk mengembalikan makna Islam kepada relnya sehingga Islam sesuai dengan misi yang dibawa Rasulullah saw. ialah Rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil’alamin).