Direktur PD Pontren: Lembaga Pendidikan Al-Quran Harus Punya Tataran Khusus Difabel

Direktur PD Pontren: Lembaga Pendidikan Al-Quran Harus Punya Tataran Khusus Difabel

Prof. H. Waryono Abdul Ghofur, M. Ag., menegaskan bahwa Lembaga Pendidikan Al-Quran harus memiliki tataran khusus untuk kelompok difabel.

Direktur PD Pontren: Lembaga Pendidikan Al-Quran Harus Punya Tataran Khusus Difabel
Prof. H. Waryono Abdul Ghofur, M. Ag. dalam kegiatan “Halaqah Penguatan Jejaring Media dan Layanan Bagi Penyelenggara Pendidikan Al-Quran” di Permata Hotel, Bogor.

Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Prof. H. Waryono Abdul Ghofur, M. Ag., menegaskan bahwa Lembaga Pendidikan Al-Quran (LPQ) harus memiliki tataran khusus untuk kelompok difabel. Hal itu beliau sampaikan saat menutup kegiatan “Halaqah Penguatan Jejaring Media dan Layanan Bagi Penyelenggara Pendidikan Al-Quran” pada Selasa (6/12) di Kota Bogor.

“LPQ juga perlu punya tataran untuk mereka (para difabel),” tegasnya.

Menurut Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu, sampai saat ini perhatian kepada kelompok difabel belum cukup serius. Misalnya, buku Ensiklopedia Metode Pembelajaran Al-Quran yang disusun oleh Kementerian Agama RI melalui Subdit Pendidikan Al-Quran. Isi buku itu masih belum mencakup metode pembelajaran untuk mereka.

“(Buku) Ensiklopedia Metode Pembelajaran Al-Quran ini baru untuk mereka yang melihat. Belum mengompilasi metode untuk yang tidak bisa melihat, selain Braille,” ungkapnya.

Waryono menilai, perhatian terhadap metode pembelajaran Al-Quran untuk kelompok difabel penting agar mereka juga bisa membaca dan mempelajari Al-Quran. Meski tentu upaya itu tidaklah mudah dan butuh perjuangan ekstra.

“Pembelajaran Al-Quran tidak boleh hanya berhenti pada (misalnya), mengajari ‘Bagaimana makharijul huruf?’ hingga kemudian teman-teman yang tuna netra itu bisa membaca Al-Quran,” terangnya.

Termasuk kelompok difabel adalah mereka yang tuna rungu (tuli). Seperti halnya dengan kelompok tuna netra, metode pembelajaran Al-Quran untuk tuna rungu juga dinilai oleh Waryono belum tuntas. Dalam hal ini metode pembelajaran Al-Quran bahasa isyarat.

“Yang kita belum tuntas itu adalah untuk mengajari Al-Quran dengan menggunakan bahasa isyarat. Braille itu lebih awal, tapi yang isyarat ini belum,” ujarnya.

Karena itu, Waryono mendorong pihak Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran (LPMQ) Kementerian Agama untuk segera menyelesaikan penyusunan kosa isyarat Al-Quran. Dan rencananya, Kemenag akan merilis kosa isyarat untuk juz 30 pada akhir tahun ini.

“Insya Allah bulan ini kita akan me-launching kosa isyarat untuk Juz ‘Amma. Ini (kosa isyarat Al-Quran) kayaknya akan menjadi yang pertama di dunia,” tuturnya.

Selain mendorong pembelajaran Al-Qur`an yang ramah difabel, Waryono juga mendorong upaya membangun fasilitas publik yang ramah difabel. Khususnya masjid, yang selain menjadi tempat ibadah, juga digunakan untuk pembelajaran materi keagamaan, termasuk pembelajaran Al-Quran.

“Ini kan perlu dipikirkan. Teman-teman difabel juga pengen bisa memahami agama dengan baik,” tambahnya.

Kelompok difabel yang memiliki kebutuhan khusus memang sudah seharusnya mendapatkan kesempatan yang sama untuk mempelajari Al-Quran. Karena itu, upaya-upaya yang dilakukan untuk mengembangkan pembelajaran Al-Quran yang mudah diakses oleh kelompok difabel harus didukung penuh. [NH]