Kata Din Syamsuddin, pemerintah dinilai tidak perlu merespon wacana pendirian khilafah yang diagagas HTI, apalagi menuding HTI sebagai kelompok anti Pancasila. “Khilafah yang dimaksud HTI seperti mirip dengan tahta suci Vatikan.” Seperti tahta suci Vatikan, khilafah gagasan HTI juga memiliki cita-cita untuk memiliki pemimpin tertinggi umat Islam seperti Paus. Tak berarti umat Katholik yang ada di Indonesia itu anti Pancasila (RMOL, 13 Juli, Din Syamsuddin: Khilafah Itu Mirip Eksistensi Vatikan).
Kalau RMOL tidak membelokkan gagasan Din Syamsudin itu, maka pandangan Din itu akan mengandaikan, pertama, khilafah HTI tidak menyentuh negara dan tidak mengubah Negara di Indonesia. Khilafah Islam itu seperti Vatikan, di mana-mana orang Katholik, bisa berbeda-beda: di Amerika bisa seperti Amerika, dalam mendirikan Negara. Nanti di Amerika Latin, juga demikian, orang Katholik, memiliki eksperimen sendiri tentang Negara; dan begitu juga ditempat lain. Di Indonesia, khilafah itu, bukan anti Pancasila. Seperti orang Katholik, tidak mengganti Pancasila dan UUD 1945. Ini khilafah versi Din Sayamsudin dalam menjelaskan HTI.
Yang kedua, kalau mengandaikan khilafah seperti kepemimpinan universal Paus, maka sudah ada pengakuan dari Din Syamsudin, bahwa HTI memang ingin membentuk kepemimpinan terpusat didunia. Maka hal ini harus dilihat, yang berperan di situ bukan lagi HTI, tetapi sudah menjadi wilayah HT, induk dari organisasi itu. Kalau itu hanya agenba HTI, membentuk khilafah di bantul, di Sleman, atau di Kulonprogo aja sudah ngoso-ngosan. Maka kalau merujuk pada HT, maka sudah jelas, arah dari khilafah yang ingin didirikan adalah meruntuhkan negara-negara nasional, yang tidak menerapkan hukum-hukum sebagai Negara Islam, bukan sebagai Negara Pancasila misalnya.
Jadi argumentasi Pak Din semakin kelihatan melindungi HTI dengan cara membelokkan gagasan khilafah HT. Bagi pegiat Islam yang melihat kejujuran intelektual, saya sangat menyayangkan argumentasi semacam itu, dapat mempengaruhi kesadaran publik; apalagi kalau sampai disokong dan dilindungi. Sebab hal itu akan berdampak pada publik, yang kata-kata dan argumentasi demikian, betul-betul mengkamuflase.
Kalau pembelokan-pembelokan itu terus dilakukan, dan orang percaya demikian, tahu-tahu nanti penyokong dan simpatisannya membesar, orang baru sadar: bahwa perang saudara bisa saja terjadi. Bagi kita, yang menyelami gagasan-gagasan khilafah HT, lewat buku-buku mereka, lewat RUUD HT, buku tentang Mafahim Hizbit Tahrir fit Taghyir, sudah mafhum dan maklum dengan gagasan pak Din, sebagai pembelokan.
Pandangan Din ini, yang betul kecewa harusnya adalah orang HTI sendiri. Yang telah menyebarkan pandangan RUUD HT, menyebarkan buku-buku nergara Islam adalah Khilafah, dan demokrasi itu kufur. Betul, harusnya orang-orang HTI yang kecewa, gagasan Khilafah mereka disamakan dengan Vatikan, sebagai kepemimpinan spiritual, harus diisi oleh orang-orang yang selibat, dan tahtanya adalah suci. Tapi tentu tidak bisa mengharapkan kekecewaan HTI kepada Din. Setali tiga uang. Pak Din sedang melindungi HTI, dan HTI ingin mendapat sebanyak mungkin kawan yang bisa dijadikan teman, meskipun argumentasinya, betul-betul membuat kita faham, cara-cara pembelaannya terhadap HTI dilakukan, sedemikian rupa.
Pak Din bukan berarti tidak tahu. Dia itu professor politik Islam. Tapi kalau orang sedang ada maunya, bisa saja kan.
Nur Kholik Ridwan