
Presiden Indonesia Prabowo Subianto pada Rabu, 9 April 2025 menyatakan kesiapan Indonesia untuk menyediakan tempat penampungan sementara bagi warga Palestina yang terluka akibat agresi militer Israel yang terus berlangsung di Gaza. Prabowo menegaskan bahwa Indonesia siap mengirim pesawat dan menerima sekitar 1.000 orang dalam gelombang pertama evakuasi, sembari menjalin koordinasi dengan otoritas Palestina dan pihak terkait di kawasan.
Sekilas, kebijakan ini tampak sebagai tindakan mulia berbasis kemanusiaan. Namun, di balik narasi penyelamatan, muncul kekhawatiran mendalam: apakah evakuasi semacam ini justru menjadi bagian dari strategi besar pengosongan Gaza secara terstruktur, sejalan dengan kepentingan kolonialisme modern yang terus berlangsung?
Kekhawatiran ini diperkuat oleh pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Februari 2025, yang secara terbuka menyebut relokasi warga Gaza ke negara-negara seperti Indonesia, Mesir, dan Yordania sebagai solusi permanen.
Wacana ini tidak hanya menuai kritik, tetapi juga dipandang sebagai bentuk penghilangan paksa identitas dan hak rakyat Palestina atas tanah airnya.
Relokasi sebagai Kolonialisme Baru
Dalam kerangka pemikiran dekolonial seperti yang dikemukakan Anibal Quijano tentang Coloniality of Power, relokasi atas nama kemanusiaan adalah kelanjutan dari kolonialisme dalam bentuk baru. Bukan lagi penjajahan militer langsung, melainkan penghapusan eksistensial melalui mekanisme simbolik dengan kedok ‘penyelamatan’.
Dengan kata lain, evakuasi bisa menjadi strategi cuci tangan yang efektif.
Para pelaku kekerasan atau penjajah tetap tidak tersentuh, sementara korban dipindahkan dari tanahnya sendiri, bukan untuk kembali, melainkan untuk menghilang dari sejarah dan peta perjuangan.
Alih-alih bertanya bagaimana menyelamatkan warga Gaza, kita seharusnya bertanya bagaimana menghentikan kekerasan yang menimpa mereka. Fokus moral seharusnya bukan pada pemindahan korban, tetapi pada pembongkaran sistem kekerasan yang melanggengkan penderitaan.
Baca juga: Evakuasi Warga Gaza Ke Indonesia Dinilai Kukuhkan Dominasi Imperialis atas Palestina
Evakuasi warga Palestina memang terlihat sebagai solusi darurat yang manusiawi. Namun di balik logika ini tersembunyi dilema moral yang dalam. Pernyataan Netanyahu yang menyebut Gaza utara akan “tanpa Hamas dan tanpa warga sipil” menunjukkan arah kebijakan Israel yang berencana menghapus eksistensi Palestina itu sendiri. Ini adalah bentuk pembersihan etnis.
Jika evakuasi dijalankan tanpa keberanian untuk menggugat sumber penindasan, maka ia hanya akan memperkuat status quo kolonial. Relokasi besar-besaran dapat berfungsi sebagai legitimasi diam-diam atas genosida— dan lebih parah, menjadikannya seolah-olah seperti “kemanusiaan”.
Bukankah menyelamatkan kehidupan harus disertai dengan perjuangan agar kehidupan itu layak dijalani?
Filsafat Moral sebagai Lensa Kritis
Dalam tradisi etika deontologis Kantian, manusia seyogyanya diperlakukan sebagai tujuan, bukan sebagai alat. Jika evakuasi hanya dijadikan sarana untuk meredam konflik tanpa menantang akar penindasan, maka tindakan itu secara moral cacat. Ini bukan solidaritas sejati, melainkan kompromi etis yang membahayakan.
Baca juga: Upaya Prabowo Relokasi Warga Gaza dan Normalisasi Penghapusan Palestina
Sementara dalam teori keadilan John Rawls, keadilan ditentukan dari posisi ‘tirai ketidaktahuan’: tak seorang pun akan memilih sistem yang membenarkan pengusiran massal dan pencabutan hak. Sedangkan bagi Hannah Arendt, pengusiran adalah bentuk pengingkaran terhadap hak paling dasar manusia, “hak untuk memiliki hak”.
Dari sudut pandang filsafat moral Islam, Murtadha Muthahhari menekankan bahwa keadilan bukan hanya prinsip hukum, tetapi nilai spiritual yang terikat erat dengan fitrah manusia. Muthahhari menolak setiap bentuk kezaliman, termasuk pengusiran dan penindasan, karena bertentangan dengan nilai keadilan. Baginya, keadilan sejati adalah yang memulihkan kemuliaan manusia, bukan sekadar memperbaiki struktur sosial.
Filsuf poskolonial Frantz Fanon bahkan lebih tajam lagi. Menurutnya, kolonialisme bukan hanya soal kekuasaan atas tanah, tapi juga penghapusan mimpi dan masa depan. Maka pertanyaan filosofis yang mendasar adalah: cui bono? Siapa yang diuntungkan oleh evakuasi ini? Jawabannya: jelas bukan rakyat Palestina.
Temukan Akar dalam Rangkaian Sebab-Akibat
Dalam prinsip kausalitas, setiap kejadian atau fenomena diasumsikan memiliki sebab. Dengan memahami hubungan sebab-akibat, kita bisa melacak ‘akar masalah’. Dengan demikian, kita bisa mencari solusi yang lebih tepat dan efektif. Penyelamatan terhadap rakyat Palestina tidak cukup hanya dengan merelokasi warga. Solidaritas sejati bersifat transformatif, bukan hanya menghindari bahaya, tetapi juga menghapuskan penyebab bahaya itu sendiri.
Solusi utama adalah mengakhiri pendudukan Israel atas wilayah Palestina, termasuk penghentian pemukiman ilegal dan blokade terhadap Gaza. Ini adalah prasyarat bagi segala bentuk perdamaian yang adil. Selain itu, dunia harus mengakui secara resmi kedaulatan negara Palestina; Palestina sepenuhnya merdeka. Kemudian, dukungan masyarakat global untuk melawan normalisasi penjajahan. Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan!
Rakyat Palestina tidak sedang mencari tempat baru, mereka sedang memperjuangkan tanah yang telah dirampas. Mereka tidak sedang menunggu diselamatkan, tetapi menuntut kebebasan yang bermartabat.
Ketika dunia bertanya :Bagaimana kita bisa mengevakuasi mereka?”, kita seharusnya bertanya “Bagaimana kita bisa membantu mereka merebut kembali hak, tanah, dan masa depan mereka?”