Dilema Mendidik Anak untuk Toleran Sejak dalam Pikiran

Dilema Mendidik Anak untuk Toleran Sejak dalam Pikiran

Sebuah kerja budaya yang gampang-gampang susah…

Dilema Mendidik Anak untuk Toleran Sejak dalam Pikiran

Dari belasan anak yang belajar ngaji kapada saya setiap sore, ada tiga anak yang saya pikir lumayan “menggelikan”. Mereka adalah dua perempuan dan satu laki-laki. Ketiganya tergolong rajin. Kemampuan mereka dalam membaca al-Qur’an pun, menurut saya, di atas rata-rata anak pada umumnya. Belakangan saya mengetahui bahwa mereka bersekolah di tempat yang sama, yakni di SD berbasis tahfiz al-Qur’an.

Belakangan, dari mereka, saya menemukan beberapa kejadian menggelikan itu. Pertama, kedua anak perempuan itu tidak berkenan bersalaman/berjabat tangan dengan saya secara langsung, alias bertemunya dua telapak tangan. Padahal anak perempuan lain, di tempat saya ngajar, salaman dengan guru laki-laki dianggap wajar. Keduanya hanya salaman “kode” saja, yakni kedua telapan tangan digabung dan dihadapkan kepada saya.

Kejadian kedua adalah ketika saya menguji salah satu dari murid saya untuk menulis sesuatu di papan tulis. Ketika si murid itu telah berhasil mengerjakan apa yang saya perintahkan dengan benar, saya memerintahkan anak-anak yang lain untuk bertepuk tangan.

Sebagian anak awalnya tepuk tangan. Namun, tiba-tiba ketiga anak itu bilang, ustaz, kan tepuk tangan (itu) tidak boleh”. Gemuruh tepuk tangan di kelas pun kemudian senyap seketika. Sungguh, kejadian ini tidak pernah saya duga sebelumnya.

Yang ketiga adalah ketika si anak laki-laki itu menegur teman kelasnya dengan ucapan, “iihh, kamu, kok celananya di bawah mata kaki!!!”. Sebagai catatan, anak yang bersangkutan ini kalau setiap ngaji memang selalu mengenakan celana cingkrang.

Belakangan, saya mendapat informasi dari teman ngajar saya (panggil saja Ustazah Aminah) bahwa sekolah ketiga anak itu adalah bermanhaj “minhum”. Saya akhirnya paham dan menemukan benang merah dari ketiga cerita di atas. Saya lalu mengambil kesimpulan bahwa sikap-sikap mereka itu adalah didikan dari sekolahnya.

Bahkan, menurut Ustazah Aminah, anak-anak itu di sekolahnya tidak diperkenankan menggambar. Oleh karenanya, ketika Ustazah Aminah menyuruh mereka menggambar, mereka sangat senang dan antusias sekali.

Pada bulan Ramadhan tahun 2017 lalu, saya justru menemukan kejadian sangat bertolak belakang. Ceritanya, satu waktu di masjid di bilangan Jakarta Selatan, tempat saya biasa melaksanakan shalat tarawih, ada dua anak kecil perempuan kembar yang rajin ke masjid. Keduanya lumayan akrab dengan saya.

FYI, di masjid tempat saya itu, shalat tarawihnya diadakan dua gelombang: 8 rakaat dan 20 rakaat. Bagi jamaah yang memilih 8 rakaat, biasanya setelah itu pulang. Sedangkan yang memilih 20, tetap di masjid melanjutkan shalat.

Saat itu, selepas shalat tarawih (20 rakaat), saya hanya melihat salah satu dari mereka berdua.

“Kemana saudara kamu?,” tanya saya saat itu.

“Dia sudah pulang, tadi dia shalat 8 rakaat saja”, jawab anak itu dengan polosnya.

Kedua cerita di atas terlihat sangat berseberangan, bukan? Yang pertama tentang keteguhan sikap yang tidak hanya harus dipertahankan, bahkan juga harus didakwahkan. Sedangkan yang kedua tentang sikap toleransi dalam memilih salah satu dari banyaknya pendapat dalam suatu ritual ibadah.

Dua pengalaman yang saya alami itu tentu sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Yang pertama, si anak memang akan selalu berpegang teguh atas (doktrin) apa yang telah ia terima dari guru/orangtuanya, namun di saat yang bersamaan ia memiliki potensi untuk selalu menyalahkan siapa yang berbeda dengan mereka (kaku).

Sedangkan pada pengalaman yang kedua, anak akan mudah menerima segala ragam perbedaan (toleran), namun ia juga berpotensi tidak memiliki pilihan yang ia yakini dan jalankan dalam kehidupannya di masa depan (menyepelekan).

Karena keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, maka ini sungguh sangat dilematis. Lantas bagaimana baiknya?

Seorang anak, saya kira, harus dididik untuk selalu mengerjakan suatu ritual ibadah atau bersikap tegas dalam suatu masalah (dalam hal ini agama). Dan, di saat yang sama ia juga harus diberi pemahaman tentang adanya ragam pendapat dalam masalah agama itu.

Bagaimana jika ia hanya memilih yang gampang-gampang saja? Ia juga harus diajarkan tentang nilai-nilai dan alasan mengapa suatu pedapat itu dipilih.

Memang ini bukan pekerjaan mudah, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan. Semua tergantung guru/orangtuanya. Semua juga tinggal pintar-pintar guru/orangtuanya dalam memberikan pemahaman kepada mereka. Semoga anak-anak dalam dua cerita di atas (dan anak-anak kita semua) tidak berhenti belajar. Amin.