Ada perbedaan mendasar antara musisi besar dan musisi legendaris. Musisi besar cukup bisa diukur dari kuantitas dan besarnya uang yang dihasilkan dari karyanya. Adapun musisi legendaris melampaui semua itu. Tidak hanya besar, seorang legenda satu tarikan nafas dengan perubahan zaman. Ia adalah pembeda sebuah masa. Tidak banyak musisi yang meraih gelar legenda, dan Didi Kempot adalah salah satunya.
Betapa tidak, Dionisius “Didi” Prasetyo, nama aslinya, tidak hanya menjadi musisi yang laris dan digandrungi secara jumlah lagu dan album. Bisa dibilang, ia adalah sosok penting yang mengibarkan lagu berbahasa daerah di kancah musik pop Indonesia.
Begitu lah sejarah memilih Didi Kempot menjadi legenda. Lahir sebagai putra dari aktor Ketoprak kawakan Ranto Gudel, dan adik dari pelawak Srimulat Mamiek Prakoso, panggung ditakdirkan menjadi rumah Didi sejak kecil.
Mewarisi darah seniman dari sang ayah bukan berarti membuat hidup Didi mulus. Di awal perjalanan kariernya, Didi hidup keras di jalanan. Nama panggung “Kempot”, yang berarti Kelompok Pengamen Trotoar, menjadi prasasti bahwa ia pernah ditempa oleh kerasnya jalanan ibu kota.
Didi Kempot tidak ke mana-mana, tapi ia ada di mana-mana. Terminal Tirtonadi, Terminal Kertonegoro, Pelabuhan Tanjung Emas, Pantai Klayar, Stasiun Balapan, Malioboro, Pantai Parangtritis sampai puncak gunung api purba Nglanggeran. Sewu Kutha (seribu kota) pernah ia singgahi dalam lirik lagunya. Semua orang yang pernah singgah di tempat-tempat itu akan teringat barang sekejap tentang cinta yang pupus sebelum berkembang, atau tentang janji yang tak ditepati.
Keunikan karya Didi Kempot melambungkan namanya di tahun 90-an. Banyak stasiun radio sampai menyiarkan acara khusus untuk lagu-lagunya. Lagunya banyak didengarkan oleh kuping warga Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur, memang. Namun jangan salah, kepergian kekasih di terminal dan stasiun yang diabadikan Didi Kempot dalam lagunya mengisyaratkan satu hal: laju urbanisasi yang tak terbendung lagi. Ketika bercocok tanam di desa seperti tidak menjanjikan, merantau jadi pilihan paling masuk akal. Lagu-lagu Didi ikut merantau, dan tetap bersemayam bersama generasi orang Jawa Tengah-Jawa Timur yang merantau ke Jakarta atau luar negeri. Lagunya menjadi tempat pulang bagi perantau yang rindu kampung halaman, sekaligus menjadi penanda zaman bagi sebagian masyarakat Jawa.
Sempat meredup, kebangkitan Didi lebih dahsyat lagi. Musik Campur Sari berbahasa Jawa dengan tiba-tiba dirayakan besar-besaran oleh kalangan anak muda yang bahkan orang tuanya belum menikah pada tahun ketika lagu “Cidro” diciptakan. Campur Sari yang tadinya tampak ndesa dan besar karena didengarkan generasi radio, bisa dengan gayeng naik pentas ke panggung Synchronized Fest, disambut meriah oleh anak-anak generasi Spotify.
Video sekelompok anak muda yang menggila saat konsernya di Sriwedari Solo menjadi awal mulanya. Sejak video mereka viral di media sosial, warganet berramai-ramai merayakan Didi Kempot kembali. Kali ini dengan meme, desain grafis, dan fotografi yang ciamik. Mereka dengan bangga menyandang nama Sobat Ambyar, yang terdiri dari Sadbois dan Sadgirls, mengangkat Didi sebagai bapak tempat mengadu saat menghadapi polemik asmara di quarter life crisis mereka. Anak-anak muda ini mungkin tidak menyangka, seorang penyanyi Campur Sari berbahasa Jawa, mendapat momentum kepopuleran dan diwawancarai oleh Gofar Hilman, penyiar radio kaum urban metropolitan Jakarta di acara Youtubenya.
Dari situ lah, berbagai julukan seperti Godfather of Broken Heart, dan Bapak Patah Hati Nasional ia peroleh. Julukan yang genuine dan original seperti ini tidak bisa direkayasa atau dibeli dengan apapun. Ia adalah penghormatan yang tulus dari masyarakat untuk menandai bahwa mereka menyaksikan hidup seorang legenda.
Didi Kempot bukan hanya perihal patah hati anak muda yang sukses dijogeti. Ia adalah jembatan peradaban antar bangsa bagi Indonesia dan Suriname. Lagu-lagu berbahasa Jawa yang diciptakan oleh Lord Didi menjadi tempat pulang bagi warga keturunan Jawa di Suriname. Tak terhitung berapa kali Didi Kempot manggung di Suriname. Pada tahun 2018, konsernya disaksikan langsung oleh Presiden Suriname, Desi Bouterse. Sang presiden diajaknya menyanyikan lagu Lobi Suriname bersama-sama.
Tidak mengherankan jika Pemerintah Suriname pernah menganugerahi Didi Kempot penghargaan bintang jasa Officier in de Ereorde van de Palm untuk bidang kebudayaan pada tahun 2000 berkat dedikasi dan pengaruhnya terhadap masyarakat Suriname. Begitu terkesannya dengan respon masyarakat Suriname, terciptalah lagu Kangen Nickerie, yang merujuk pada sebuah distrik di Suriname.
Belum lama sebelum kepergiannya, Didi Kempot menjadi sarana ladang amal banyak orang. Melalui Konser dari Rumah di Kompas TV, sobat ambyar mampu mengumpulkan donasi yang mencapai 5 Miliar selama tiga jam penayangan live konser itu. Amal itu seperti ingin mengantarkannya menjalani detik-detik terakhir hidup, untuk mengakhirinya dengan Good ending, khusnul khatimah.
Walhasil, Didi Kempot adalah rumah bagi para perantau yang rindu kampung halaman. Mewakili jeritan hati para kekasih yang urung mekar berbunga. Menjadi bapak tempat mengadu bagi anak muda yang putus cinta. Ia mampu melekatkan hubungan antar bangsa. Di akhir hayatnya, Masih sempat menjadi jalan amal bagi banyak manusia. Pada akhirnya menutup usia di bulan suci, yang menjadi harapan bagi banyak Muslim.
Dari pengamatan mata telanjang manusia, jika bukan khusnul khatimah, saya tidak tahu harus menyebutnya apa lagi. Bersama-sama kita bersaksi, Didi Kempot adalah manusia paripurna. Segala tugas sebagai manusia telah tuntas ia tunaikan.
Daa.. Dada sayang.. Selamat jalan.