Teror di Selandia Baru pekan lalu menyisakan lubang mendalam di hati kita, benarkah manusia bisa begitu kejam? Saya jadi teringat buku yang saya baca bertajuk 99 Mutiara Pesantren (PKPPPN, 2019) dan saya menemukan kutipan yang menghadirkan permenungan: orang-orang yang memiliki sifat welas asih akan disayangi Allah yang Maha Welas Asih. Sayangilah makhluk yang di bumi maka yang di langit akan menyayangimu. Kutipan itu bersumber dari kitab Nashaihul Ibad.
Saripati agama, jika dapat dikatakan demikian, saya kira adalah laku welas asih. Pesan dalam kutipan di atas juga sangat jelas: bersikap welas asihlah kepada siapapun. Tanpa memandang agama, suku dan segala pembeda lainnya. Soal welas asih, saya akan selalu mengenang kisah Nabi SAW dengan seorang pengemis Yahudi buta. Saya juga masih selalu terkesima setiap membaca ulang biografi Bunda Teresa.
Sukar dibayangkan jika sikap welas asih mulai pudar dari diri tiap manusia. Lalu digantikan kebencian yang dominan. Kebencian itu lantas bermetamorfosa jadi permusuhan, kemudian, pembunuhan, pembantaian dan seterusnya. Sudah barang tentu masa depan manusia akan sehitam jelaga.
Beberapa waktu lalu kita dipertontonkan pemandangan mengerikan dari Selandia Baru. Karena dikuasai kebencian, seseorang dengan brutal menghabisi nyawa sesamanya. Selepas kejadian itu, yang saya takutkan, kebencian di Selandia Baru akan “diimpor” ke negara-negara lain, dalam kemasan balas dendam misalnya. Untunglah ketakutan saya tak terbukti. Sikap welas asih belum dikalahkan oleh kebencian yang membabi buta.
Pasca peristiwa itu kita justru menyaksikan bagaimana simpati dan solidaritas mengalir deras. Masjid tempat terjadinya peristiwa itu dipenuhi bunga. Juga ucapan-ucapan maaf yang menyentuh. Salah satunya berbunyi: Saya mohon maaf Anda tidak aman di sini. Kami patah hati kehilangan Anda.
Belakangan, saudara-saudara non-muslim datang ke masjid di Selandia Baru untuk turut “menjaga keamanan”, berjaga agar peritiwa serupa tak terulang. Sebagian yang lain datang untuk menunjukkan belasungkawa dan melihat langsung bagaimana salat dikerjakan,dan mungkin bertanya-tanya mengapa harus ada manusia “gila” yang memberondongan peluru kepada jamaah di sebuah tempat suci.
Berkaca pada Selandia Baru, sudah saatnya kita menengok kemanusiaan kita. Masihkan kita memumpuk dan merawat kebencian di dada dan kepala kita? Apakah karena beda agama dan pandangan politik lalu kita menganggap orang lain sebagai musuh yang harus dimusnahkan? Saya kira pertanyaan-pertanyaan itu harus bisa kita jawab dengan tegas.
Bercermin dari tragedi di Selandia Baru, sudah saatnya kita mangarusutamakan semangat persatuan, meneguhkan kebhinekaan. Tidak sebatas jargon, tapi kerja nyata. Jangan biarkan politisi busuk memecah kita dengan provokasi, fitnah dan adu domba. Tak perlu ada nyawa melayang lebih dulu di tanah nusantara untuk menggedor kemanusiaan kita.
Bumi ini, kita tahu, tak seberapa luasnya. Sementara manusia terus beranak pinak dan bertambah jumlahnya. Alangkah sempit dunia jika masih harus ikut menampung kebencian kita.